Oleh : Azyumardi Azra
Sekolah Islam, selain madrasah, hampir bisa dipastikan merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang mengalami kemajuan fenomenal dalam tiga dasawarsa terakhir. Dan, kemajuan itu tidak hanya mengubah lanskap kelembagaan Islam di negeri ini, bahkan memengaruhi dinamika Islam di Indonesia secara keseluruhan.
Saya mengamati, meneliti, dan mengkaji perkembangan dan dinamika sekolah-sekolah Islam sejak 1980-an dan pernah mempresentasikan makalah tentang lembaga pendidikan ini dalam konferensi EUROSEAS di Hamburg di akhir 1990-an. Tentu saja, sejak milenium baru 2000 terjadi banyak perubahan pada sekolah Islam dan lembaga pendidikan Islam lainnya; kata kunci yang menandai perubahan itu adalah meningkatnya kualitas dan daya tarik sekolah-sekolah tersebut.
Penting segera dikatakan, fenomena sekolah Islam --sekali lagi selain madrasah-- bukan sekadar gejala 1980-an atau 1990-an. Sekolah Islam telah muncul jauh sebelumnya; persisnya pada awal abad ke-20 ketika gelombang modernisme Islam menemukan momentumnya di negeri ini. Pengkaji sejarah pendidikan Islam di Indonesia pastilah tidak lupa misalnya pada Sekolah Adabiyah di Padang yang didirikan Haji Abdullah Ahmad, salah seorang modernis awal di kawasan ini. Selanjutnya semacam sekolah-sekolah Islam yang pada dasarnya mengadopsi model pendidikan Belanda dikembangkan Muhammadiyah. Kurikulum sekolah-sekolah ini mengadopsi kurikulum pemerintah Hindia Belanda. Bedanya, sekolah-sekolah Islam ini memperkenalkan pendidikan agama, yang dalam istilah Muhammadiyah disebut sebagai met de Qur'an, dengan Alquran.
Tetapi, harus diakui sekolah Islam tidak berhasil meningkatkan kualitas dan daya tariknya sampai akhir kekuasaan Belanda dan Jepang, dan bahkan sampai masa tiga dasawarsa setelah kemerdekaan negeri ini. Faktor utamanya sudah jelas; pertama, tidak ada dukungan finansial memadai, yang memungkinkan terjadinya upaya peningkatan kualitas; kedua, belum tersedianya sumber daya yang mampu mengelola dan mengembangkan sekolah-sekolah Islam tersebut. Keadaan yang hampir sama --hanya sedikit lebih baik dialami juga oleh sekolah-sekolah negeri.
Akibatnya, banyak orang tua yang kaya atau pejabat enggan mengirim anak-anak mereka ke sekolah Islam, dan bahkan ke sekolah negeri. Hanya kalangan bawah saja yang mengirim anaknya ke sekolah Islam atau sekolah negeri. Sekolah yang menjadi favorit mereka adalah sekolah Katolik yang memang menjanjikan mutu dan disiplin, yang masih menerapkan disiplin model Belanda. Sampai akhir dasawarsa 1970-an, bagi orang kaya dan pejabat, mengirim anak-anak ke sekolah seperti ini sangat bergengsi; dan karena itu ia juga menjadi salah satu simbol status.
Keadaannya mulai berubah sejak 1970-an. Perintis perubahan itu, tidak lain adalah sekolah Islam al-Azhar yang terletak di lingkungan Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, yang merupakan kawasan elite di Jakarta. Terkait erat dengan visi kemodernan dan keindonesiaan ulama besar, Prof Dr Buya Hamka, sekolah al-Azhar menjadi model bagi sekolah-sekolah Islam yang berkecambah tidak hanya di Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di Indonesia sejak 1980-an. Al-Azhar sendiri membuka cabang di berbagai kota; lalu ada al-Izhar, Madania (Parung), as-Salam (Solo), SMU Insan Cendekia (Serpong dan Gorontalo), SMU Athiroh (Makassar), Internat al-Kautsar (Sukabumi), dan banyak lagi untuk didaftar satu persatu.
Sekolah-sekolah ini dikelola secara profesional, dengan sumber daya manusia yang baik; dan tidak kurang pentingnya, dengan dukungan finansial yang amat baik. Karena itu, tidak heran kalau sekolah-sekolah ini berhasil meningkatkan kualitas pendidikannya. Tidak heran pula kalau sekolah-sekolah ini menjadi favorit dan sekaligus menjadi sekolah 'elite'. Perlahan tapi pasti pula, kian banyak kalangan menengah ke atas mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah seperti ini. Dan, tidak terelakkan lagi, sekolah-sekolah menjadi simbol status baru khususnya bagi keluarga kelas menengah Muslim yang sedang dan terus bangkit sejak 1980-an.
Pada spektrum lain, sekolah negeri juga terus berkembang dan meningkatkan kualitasnya. Perlahan tapi pasti, muncul sekolah negeri yang menjanjikan mutu pendidikan yang baik. Hasilnya, tidak heran, kalau muncul SMA-SMA favorit di berbagai kota. Dan, mengikuti jejak sekolah swasta, sekolah-sekolah negeri ini juga memungut dana untuk melengkapi fasilitas yang tidak selalu tersedia dalam anggaran resmi dari negara.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana mereplikasi contoh-contoh keberhasilan ini demi peningkatan kualitas pendidikan bangsa secara keseluruhan. Karena itu, perlu pemikiran tentang filantropisme pendidikan, agar biaya yang relatif mahal pada sekolah-sekolah berkualitas dan favorit ini untuk dipikul bersama-sama guna memberikan kesempatan kepada anak-anak cerdas tapi miskin untuk juga bisa menggapai keunggulan. Dengan begitu pendidikan yang berkualitas juga dapat dinikmati anak-anak yang kurang beruntung ini, yang seyogianya juga dapat diberikan peluang.