Rabu, 19 Desember 2007

Kita Dzalim terhadap Lingkungan


Jika tidak ada upaya dari berbagai pihak untuk melakukan tindakan penyelamatan hutan kita, maka lima tahun yang akan datang hutan dataran rendah di Sumatera akan segera habis, disusul hutan Kalimantan 10 tahun kemudian.

Semua sepakat pemanasan global merupakan momok yang menakutkan bagi kehidupan bumi ini. Jika pemasanan bumi ini tidak dikurangi, kerusakan yang mahadasyat akan melanda bumi. Suhu udara semakin panas, air laut akan naik, banjir terjadi di mana-mana, penyakit bertebaran, dan bencana lainnya akan menghampiri umat manusia, tanpa pandang bulu.

Itu sebabnya, Perserikatan Bangsa-bangsa akan menghajat perhelatan akbar KTT Perubahan Iklim dan Pemanasan Global (Global Warming) yang akan digelar di Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung, 3-14 Desember 2007. Diharapkan, ada kata sepakat untuk mengerem laju kerusakan alam untuk menyelamatkan bumi kita.

Bagi bangsa kita, isu menyelamatkan bumi dan melestarikan alam seolah hanya slogan belaka. Direktur Walhi Chalid Muhammad mengungkapkan jika dilihat dari masa waktu 60 tahun Indonesia merdeka, ternyata isu lingkungan belum menjadi pertimbangan pertama dalam pembangunan bangsa Indonesia. ''Yang justru menjadi panglimanya selama ini adalah pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, tidak jarang menimbulkan eksplotasi besar-besaran dan tidak terkendali yang pada gilirannya menimbulkan dampak negatif baik bencana ekologis seperti banjir, longsor dan kemudian menimbulkan derita berkepanjangan berupa kemiskinan struktural,'' tandas Chalid kepada Republika Rabu (28/11).

Ironisnya, sambung Chalid, kebijakan perundang-undangan kita selalu berpihak kepada kepentingan pemilik modal dan sama sekali mengabaikan kepentingan mayoritas bangsa serta generasi yang akan datang. Kebijakan perundang-undangan kita hanya menguntungkan multitransnasional dan internasional. Akibat kebijakan pembangunan yang salah yang lebih mengejar kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi, akhirnya muncul jurang yang sangat tinggi antara suplai dan demand, antara industri kehutanan dengan ketersediaan kehutanan di Indonesia.

Chalid menyebutkan, dari data yang dimilki Walhi tahun 2006, terjadi kerusakan hutan sebesar 2,72 juta hektar. Sisa hutan yang masih baik di Indonesia sekarang ini tak lebih dari 20 persen dari total hutan yang adi seluruhnya. Chalid mengingatkan, jika tidak ada upaya dari berbagai pihak untuk melakukan tindakan penyelamatan hutan kita, maka lima tahun yang akan datang hutan dataran rendah di Sumatera akan segera habis, disusul hutan Kalimantan 10 tahun kemudian. ''Dan yang paling mengerikan, dalam jangka waktu 15 tahun, Walhi memprediksi kita akan kelangkaan kayu akibat punahnya hutan di Indonesia.''

Dalam pandangan Walhi, pendapatan dari pajak dan royalti dari industri kehutanan, tidak sebanding sama sekali dengan nilai uang yang dikeluarkan akibat dampak buruk seperti longsing, banjir dan bencana alam lainnya. ''Karena itulah, pemerintah dan DPR harus memiliki kemauan yang kuat untuk memperbaiki hutan dan lingkungan kita, agar tidak terjadi lebih besar lagi bencana yang menimpa rakyat Indoensia,'' tegas Chalid yang mengaku pesimis pertemuan Bali tidak akan berdampak terlalu banyak bagi Indonesia bila pemerintah dan DPR tidak punya kemauan yang kuta untuk memperhatikan hutan dan lingkungan Indonesia.

Aktivis lingkungan Zaim Saidi justru memandang, justru akar dari segala persoalan rusaknya hutan di Indonesia adalah riba. ''Mengapa hutan kita rusak? Karena ada kerakusan! Mengapa lalu timbul kerakusan? Karena adanya riba. Karena kerakusan itulah akhirnya hutan dieksplotasi habis-habisan. Akar semua ini adalah riba. Jadi, tidak mungkin kerusakan hutan dan lingkungan itu bisa dicegah, jika akarnya tidak diselesaikan,'' ujar Zaim. Ia kemudian menyitir firman Allah SWT dalam surat Albaqarah (2) ayat 11 yang artinya:

''Dan bila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan kebaikan.'' Menurut Zaim, persis yang digambarkan pada ayat tersebut, tidak sedikit orang yang mengaku melakukan perbaikan terhadap lingkungan, padahal sesungguhnya ia sedang merusak lingkungan. ''Dengan dalih pembangunan berkelanjutan, mereka justru sebenarnya tengah merusak bumi dan lingkungan,'' tegasnya.

Dengan adanya riba, kata Zaim lebih lanjut, kemudian muncul proyek-proyek dan kredit serta investment yang lagi-lagi bertujuan untuk memenuhi kerakusan. ''Yang menjadi korban tentu saja masyarakat. Mereka bukan saja dihajar dampak ekologis seperti banjir dan longsir, tapi juga dampak inflasi yang terus menerus,'' ujar Zaim mengingatkan.

Mengapa manusia perlu menjaga alam lingkungan? Menurut Pimpinan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah Ciputat Tangerang ini, karena perilaku yang tidak baik dengan merusak alam dan lingkungan, akan berdampak terhadap masyarakat. ''Timbulnya berbagai bencana alam seperti banjir, longsong dan juga kekeringan, disebabkan karena tangan-tangan serakah manusia,'' tegasnya.

Menurut KH Anwar Sanusi, tugas manusia sebagai khalifah (wakil Allah, red) di muka bumi ini ada dua. Pertama, mengingat Allah dalam bentuk ibadah. Kedua, menjaga dan mengatur alam sesuai dengan sunnatullah. ''Karena itu, dalam konsep Islam, menjaga kelestarian alam ini hukumnya wajib dan mereka yang merusak alam sehingga menimbulkan bencana bagi orang banyak, harus dihukum seberat-beratnya,'' tegas kyai Anwar Sanusi.

Sayangnya, kata pimpinan Pesantren Arafah Ciawi Bogor ini, pemerintah kurang memiliki kepedulian terhadap utuhnya lingkungan. Ia lalu menyoroti adanya perizinan tempat-tempat seperti resapan air yang dijadikan tempat hunian. Begitu juga perizinan reklamasi pantai yang kemudian dijadikan tempat pemukiman maupun pembabatan hutan secara besar-besaran. ''Karena kita sudah tidak peduli lagi terhadap lingkungan yang juga merupakan makhluk Allah, akhirnya melakukan protes dalam bentuk banjir, hembusan angin kencang, gelombang pasang, dan sebagainya.'' Tak cukupkan ini sebagai bentuk teguran? dam

Tidak ada komentar: