Oleh : Asro Kamal Rokan
Sudah dua juta orang --dari sekitar tiga juta orang-- tumpah ruah di Makkah, sepekan sebelum wukuf di Arafah, puncak ibadah haji. Mereka datang dari seluruh dunia, memenuhi setiap ruang, sudut, dan bahkan memenuhi seluruh pelataran Masjidil Haram yang luas dan indah. Mereka berdiri bersama, rukuk bersama, sujud bersama dalam seruan sama: Allahu akbar!
Tiada yang lebih besar dari Allah SWT, yang menggerakkan hati manusia dari kota-kota besar hingga pelosok desa yang sunyi. Dari petani, pembantu rumah tangga, hingga pemimpin negara. Lelaki yang kuat dan berkuasa, hingga ibu-ibu tua dan tak berdaya. Mereka tidak saling kenal, bahasa mereka berbeda, namun saling menyapa.
Adakah yang lebih indah dari semua ini, ketika setiap orang sama tanpa sekat politik, jabatan, bahasa, dan kekuasaan? Apakah pernah ada pertemuan sebesar itu dari segala rapat akbar dalam sejarah? Apakah ada dalam sejarah manusia, setiap kali pertemuan jumlah pesertanya tidak semakin surut, melainkan semakin bertambah, terus-menerus hingga harus dibatasi dalam kuota, padahal mereka yang datang harus membayar dalam jumlah besar? Sepengetahuan saya, tidak ada, kecuali ibadah haji.
Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari tempat-tempat yang jauh (QS Al-Hajj:27). Ya Allah betapa nyata semua ini. Orang-orang berpakaian ihram dua helai kain putih tanpa dijahit seperti kafan membaluti tubuh mereka, bergerak dalam putaran sama mengelilingi Baitullah, melawan arah jam, menuju waktu sesungguhnya: surga yang indah.
Pakaian ihram layaknya kafan membungkus tubuh manusia. Tidak berarti lagi jas yang indah dan mahal, pakaian kebesaran dan pangkat setinggi apa pun. Tidak juga ada orang-orang miskin dengan pakaian kumal dan robek. Semua sama, serbaputih, tak berjahit, ibarat kafan. Tidakkah kematian itu sama, siapa pun mereka? Tidakkah manusia itu sama di hadapan Allah SWT kecuali amal ibadahnya? Lalu bagaimana manusia dapat menyombongkan diri karena pakaian, pangkat, dan atribut yang disandangnya, jika pada akhirnya adalah kafan?
Dan, thawaf adalah penyerahan diri secara total. Setiap orang, siapa pun mereka, apa pun warna kilit mereka, latar belakang sosial dan budaya mereka, bentuk fisik dan bahasa mereka, berpakaian sama dan berputar pada arah yang sama pula. Tidak boleh melawan arus, tidak boleh berhenti, tidak ada pilihan. Semua orang membiarkan dirinya diseret arus gelombang dahsyat ini. Mereka ikhlas karena inilah yang mereka idamkan berpuluh tahun, mereka impikan sejak menyatakan diri sebagai seorang Muslim.
Aku datang ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu,
Aku sambut panggilan-Mu,
Tidak ada sekutu bagi-Mu
Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu
Tiada sekutu bagi-Mu
Segala puji adalah milik Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Tapi, mengapa manusia suka pujian, suka sanjungan, padahal pujian adalah milik Allah? Mengapa manusia lebih suka mempertuhankan materi, jabatan, kekuasaan, atribut, padahal Allah satu-satunya Tuhan, pemilik segala kekuasaan di bumi, langit, dan segala alam semesta, yang kekal dan Mahabesar? Ya Allah, saya di sini, mengelilingi Ka'bah dalam arus manusia berpakaian putih seperti kafan, meleburkan diri dalam gelombang dahsyat. Saya berkeliling menyatukan diri dari satu titik dan berakhir di titik yang sama: dari titik kehidupan ke titik kematian: Allah Akbar, aku sambut panggilan-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar