Idul Adha memiliki dua dimensi utama, yaitu dimensi vertikal manusia dengan Allah Yang Maha Pencipta (hablun min Allah) dan dimensi horizontal (hablun minannas), yaitu adanya kepedulian terhadap sesama manusia. Bukanlah suatu kebetulan Allah menggantikan pengorbanan Ibrahim AS dengan seekor qibas dan memerintahkan kita untuk menyembelih hewan kurban, melainkan karena pengabdian kita kepada Allah haruslah dapat membawa dampak kemaslahatan kepada sesama manusia.
Kedua dimensi ibadah kurban tadi menunjukkan keberagamaan kita haruslah berpangkal pada keimanan kepada Allah yang kita jelmakan dalam keikhlasan pengabdian kepada-Nya. Kemudian harus bermuara pada kemaslahatan bagi sesama manusia. Keberagamaan yang berhenti pada peribadatan saja tanpa membuahkan amal kebajikan adalah keberagamaan yang kosong hampa.
Ibrahim AS merupakan simbol keteladanan sosial bagi setiap upaya ''menjalin kebersamaan dalam kemajemukan serta menebar empati untuk semua''. Idul Adha mengingatkan kita akan pentingnya solidaritas nasional dalam bingkai menjalin kebersamaan dalam kemajemukan. Dalam konteks ini, Allah pernah mengingatkan dalam salah satu ayat Alquran, ''Bahwa telah jelas tampak, setiap golongan berbangga dengan (kehebatan) kelompoknya.''
Cuplikan ayat Alquran di atas merupakan peringatan Allah kepada kita dalam dua bentuk pemahaman. Pertama, kita tidak boleh ta'asshub (berbangga terhadap kelompok kita secara primordial). Kedua, perjuangan mencapai (keridhaan) Allah di muka bumi, misalnya upaya menyejahterakan masyarakat, tidak bisa dicapai melalui ta'asshub tersebut. Karena itu, berjuang di jalan Allah, harus murni menjadi tujuan kita; bukan berjuang untuk membuat organisasi atau kelompok kita hebat. Apalagi kemudian diiringi dengan membanggakan kelompoknya lebih hebat daripada kelompok lain dalam capaian aktivitas sosial.
Dalam konteks ini, solidaritas nasional perlu juga didorong oleh kebersamaan yang tulus untuk membantu sesama, tanpa membedakan agama, etnis, ras, dan budaya. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak beriman seseorang, hingga dia mencintai (apa yang diekspresikan) saudaranya/sesamanya, berbanding lurus dengan apa yang dicintainya.'' (Muttafaq `Alaih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar