oleh Yusuf Burhanudin
''(Musim) haji adalah beberapa bulan dimaklumi, barangsiapa menetapkan niat di bulan itu akan berhaji, tidak boleh rafats, fasiq, dan berbantah-bantahan (jidal) masa berhaji.'' (QS Albaqarah [2]: 197).Musim haji kembali tiba. Jutaan umat Islam berbondong-bondong ke Tanah Suci menunaikan rukun Islam kelima. Mereka rela meninggalkan sanak saudara, handai taulan, dan kampung halaman demi meraih haji mabrur. Karena, tidak ada balasan patut bagi haji mabrur selain surga (HR Tirmidzi).
Haji yang berarti al-qashdu, adalah isyarat pelaku haji siap meninggalkan dan mengorbankan kesenangan duniawi yang bersifat individual (disimbolkan pengorbanan harta, waktu, keluarga, dan kampung halaman) menuju pengabdian sosial. Pengabdian sosial inilah misi haji mabrur. Rasulullah ditanya, ''Apa makna mabrur?'' Dijawab, ''Suka memberi makan (bantuan sosial) dan lemah lembut dalam bicara.'' (HR Ahmad).
Karenanya, virus yang menggerogoti kesucian ibadah haji adalah juga virus sosial. Pertama, rafats (perbuatan maksiat yang merugikan diri sendiri dan orang lain), fasiq (ucapan tidak seiring perbuatan), dan jidal (bertengkar dan berdebat, sekalipun soal agama, yang dapat menimbulkan permusuhan). Yang hendak dituju haji tak lain keharmonisan, kepekaan sosial, dan persaudaraan universal. Kepekaan sosial tidak akan terwujud tanpa hidup harmonis. Demikian persaudaraan tak akan terlaksana tanpa semangat saling memberdayakan satu sama lain.
Mabrur yang terbentuk dari kata al-birr, bermakna kebaikan sosial. Firman-Nya, ''Kalian tidak akan memperoleh kebaikan (al-birr) kecuali mendermakan sebagian harta yang kalian cintai.'' (QS Ali Imran [3]: 92). Karena itu, mabrur sesungguhnya tidak terhenti begitu saja saat prosesi haji berlangsung, tapi berlanjut pembuktiannya di masyarakat. Mabrur merupakan cita sosial para hujaj sepulangnya dari Tanah Suci dalam mengempati, mengemansipasi, dan mengangkat harkat martabat sesama dari kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan keterbelakangan.
Setelah merasakan indah dan nikmatnya tenggelam dalam khidmat manasik haji, seyogianya para hujaj tidak memendam kerinduan untuk kembali ke Tanah Suci sekadar melepas nostalgia. Akan lebih produktif seandainya dana alokasi haji kedua tersebut diperuntukkan membiayai kerabat miskin, menyantuni anak yatim, membiayai siswa putus sekolah, menciptakan lapangan kerja, dan lainnya. Berhaji cukup sekali, karena berikutnya hukumnya sunah (HR Muslim).
Sabtu, 15 November 2008
Berhaji Cukup Sekali
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
tapi mengapa banyak orang berlomba-lomba menunaikan ibadah haji sampai berkali-kali ?
Posting Komentar