Ahmad Syafii Maarif
Dalam upaya mengkritik diri sejujur-jujurnya, saya ingin mengatakan bahwa saya belum yakin apakah posisi takwa sebagai tujuan yang hendak diraih dalam puasa dan ibadah lainnya telah menjadi milik saya setelah berpuasa selama hampir 70 tahun. Dalam surat Albaqarah ayat 183, Alquran memang menggunakan ungkapan la'allakum tattaqun (semoga kamu berhasil meraih posisi takwa) dengan menjalankan puasa itu.
Istilah takwa merupakan salah satu konsep kunci dalam Alquran di samping iman dan Islam. Tidak kurang dari 242 kali konsep itu dalam berbagai bentuk dapat dilacak dalam kitab suci ini. Dengan demikian, fungsinya sangat sentral. Dari segi akar kata, takwa berasal dari tiga huruf w-q-y yang bermakna menjaga diri, baik dari kehancuran moral maupun dari kemurkaan Allah akibat penyimpangan perilaku seseorang dari jalan lurus.
Takwa adalah salah satu buah iman yang tulus. Iman yang tidak tulus adalah sebuah sandiwara, tidak punya bekas yang positif dalam mengarahkan perilaku kita ke jalan yang diridhai. Sebab itu, pemaknaan takwa dengan takut (kepada Allah) tidaklah terlalu tepat. Sebab, rasa takut akan menjauhkan seseorang dari yang ditakuti. Sementara itu, takwa kepada Allah justru sebaliknya, kita rindu untuk senantiasa mendekat kepada-Nya. Dalam perjalanan hidup, saya rasa rindu kepada Allah hanya datang kadang-kadang. Artinya, kualitas iman saya ternyata belum memadai.
Apa indikator takwa itu? Berbagai ayat Alquran telah menjelaskannya. Kita ambil yang paling sering dibaca pada bulan Ramadhan: ayat 133-136 surat Ali Imran yang artinya, "Dan, cepat-cepatlah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi mereka yang telah berhasil meraih posisi takwa.
[Yaitu] orang-orang yang memberikan infak, baik di saat lapang maupun di saat sempit, dan orang-orang yang mampu mengendalikan marah serta bersedia memaafkan [kesalahan] orang lain. Dan, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan [juga], mereka yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri [segera] mengingat Allah dan mohon ampun atas segala dosanya. Dan, siapakah yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, padahal mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Dan, [itulah] sebaik-baik balasan bagi orang yang beramal."
Cobalah simak baik-baik beberapa indikator takwa dalam ayat 34-35 di atas. Rasanya, saya sendiri belum pernah memiliki indikator itu secara utuh dan sempurna. Bolong dan kendalanya banyak sekali. Tentu, karena tingkat ketakwaan saya masih saja rendah. Padahal, usia sudah 73 tahun, liang kubur sudah sangat dekat. Inilah yang mencemaskan, inilah yang merisaukan. Dalam beribadah dan beramal, saya rasanya hanyalah seorang minimalis, Allah-lah yang Mahatahu akan segala kelemahan dan kekurangan diri saya.
Kadang-kadang, muncul pertanyaan ini, apakah hidup saya ini bernilai di sisi Allah? Jika jawabannya negatif, tentu berarti sebuah kegagalan, sesuatu yang sangat menakutkan. Tetapi, tentu saja kita tidak boleh berputus harap akan ampunan Allah atas segala dosa, kekurangan, dan kelemahan yang mengitari diri. Di sinilah barangkali fungsi doa yang harus terus-menerus kita sampaikan kepada Maha Pencinta hidup dan mati. Dalam masalah doa, memang saya tidak pernah lupa, sekalipun tidak selalu disertai hati yang khusuk, bening, dan rindu. Kadang-kadang, doa hanya asal dibaca, tidak sungguh-sungguh, sedangkan rahmat Allah kepada saya sekeluarga telah turun berjibun, tidak henti-hentinya, datang dari berbagai penjuru.
Hentakan Alquran adalah ini, "Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk secara khusuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan? Dan, janganlah mereka jadi seperti orang-orang yang telah diberi kitab sebelumnya. Kemudian, mereka melalui masa yang panjang, lantas hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik/durhaka." (Alhadid: 16). "Ya Allah, bimbinglah aku ke jalan yang lempang agar terhindar dari jurang kedurhakaan. Amin!"
Semua yang ditulis ini adalah pengalaman hidup yang saya lalui, tidak dibuat-buat, karena itulah kenyataannya. Dengan harapan, agar para pembaca akan jauh lebih manis dari apa yang saya rasakan. Posisi takwa bagi saya ternyata masih terlalu mahal untuk diraih, sekalipun telah berpuasa puluhan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar