Ismah Salman
Nanang Qosim Yusuf, penulis muda berbakat sekaligus penulis buku laris The 7 Awareness, menulis ”kapsul kecil yang mujarab” yang dapat menyembuhkan penyakit hati dan pencerahan kalbu. Tulisannya dapat menyentuh lubuk hati yang paling dalam untuk memunculkan kesadaran insan dalam beragama dan mengamalkan ajaran agama.
Tulisannya dikemas sedemikian rupa, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh berbagai kalangan yang berbeda usia dan profesi. Sajiannya menarik bagai mutiara, dirangkai indah menghias kalbu seorang Muslim yang beriman dan berpuasa.
Tulisan ini membahas tiga materi besar sebagai anak tangga yang harus dilalui seseorang yang berharap puasanya sebagai wadah untuk menata diri sebagai Muslim yang beriman menuju derajat yang tertinggi, yaitu takwa di sisi Allah SWT, yaitu tafakur, tadabur, dan tasyakur.
Puasa mengarahkan manusia untuk menemukan kesadaran beragama, dan agama dijadikan petunjuk, pelita yang menerangi dan mengarahkan hidup, serta memberi makna kehidupan.
Buku ini ditulis untuk mengarahkan manusia agar mengaktifkan kesadaran dalam memaknai hidup. Arahan dimulai dari awal Ramadhan secara bertahap, dimulai dari tafakur, yaitu mengenali diri sendiri, dan melakukan kontrol pada diri, serta berusaha membina hubungan baik kepada Allah, serta hubungan baik kepada sesama manusia dan kepada sesama makhluk ciptaan Allah.
Puasa memiliki dimensi spiritual yang sangat tinggi karena memberikan kesadaran kepada setiap diri yang melakukannya. Puasa melatih manusia untuk menghilangkan kebohongan, menjadi manusia yang sadar untuk berlaku jujur dalam segala kegiatan hidup dan kehidupan.
Nanang mengambil ayat Al Quran sebagai dasar-dasar pemikiran, dan menyisipkan pula contoh-contoh yang membuat tulisan ini menjadi menarik dan hidup, serta mengasyikkan, sekaligus menyentuh akal, rasa, dan membuat penyajian menjadi tidak menjemukan.
Di samping itu, Nanang membagi manusia menjadi lima kategori: (1) orang yang culas, yang hanya melihat diri, sangat mencintai diri, dan iri terhadap kesuksesan orang lain; (2) orang yang cerdik, yang hanya memikirkan keuntungan diri; (3) orang yang pintar, yang sesuatu ia nilai dengan logika dan penilaian matematis, perasaan menjadi pudar, dan yang dihitung hanyalah untung dan rugi; (4) orang yang cerdas, orang yang menyeimbangkan antara pikiran dan hati; dan pada level terakhir, adalah (5) orang yang sadar/tersadarkan, yaitu mereka yang selalu melakukan sesuatu yang benar walaupun tidak ada yang melihat, mereka memiliki integritas yang tinggi dalam hidup ini, yang disebut muttaqin.
Penulis mengibaratkan puasa sebagai jembatan yang menjadi penghubung antara hamba dan Khalik-nya, dan penghubung pula antara hamba dan sesamanya. Puasa dijalankan dengan melakukan tafakur (merenung) tentang diri, bagaimana dalam 11 bulan yang lalu dan tahun sebelumnya segala sesuatu yang buruk ditinggalkan, menghilangkan kedustaan dan kepura-puraan, lalu melakukan tadabur- extrospection (merenung keluar); ada orang lain di sekitar dan ada alam makhluk lainnya, bagaimana seharusnya berinteraksi yang seimbang dengan mereka sehingga hubungan tersebut menjadi indah.
Kemudian, tasyakur-appreciation of life; bersyukur dengan perbuatan, hati yang ikhlas, apa yang terjadi dirasakan indah, bukan saja baik, dan disadari akan manfaatnya. Yang demikian itu adalah orang yang mendapat kemenangan, dan fitri.
Buku ini membimbing kita untuk mencapai tahap ini melalui tahap demi tahap, mulai 1 Ramadhan sampai akhir, seseorang yang berpuasa mampu berdialog dengan dirinya, dan dengan Tuhan-nya, serta alam sekitarnya.
Diam merenung dapat menghasilkan hati yang jernih, lapang, sabar, dan bersyukur. Tadabur bukan saja dengan membaca kitab suci, tetapi juga dengan membaca ”kitab sesama”, dan kitab alam semesta.
Ramadhan mengajak manusia untuk menghayati makna cinta yang sesungguhnya, cinta kepada sang Khalik, dan beribadah dengan ikhlas, cinta kepada sesama dengan cara memberi, dan cinta kepada alam dengan menjaga, memelihara, serta bersyukur, lalu menggunakannya dalam kebaikan. Puasa adalah pelatihan untuk mengendalikan diri dari hal lahiriah dan batiniah.
Tulisan yang disajikan Nanang mengandung uraian yang retorik, dan menggugah pembacanya untuk merenung serta menghayati uraian yang menggugah kalbu. Akalnya bekerja, hatinya turut merasa, diharapkan muncul kesadaran yang mendalam untuk berbuat, beramal, dan berupaya untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa. Muncul kesadaran sebagai hamba. Nilai-nilai religius terus mengalir dan dapat dinikmati oleh pembacanya karena menarik dan diselingi kisah-kisah teladan.
Panduan berpuasa
Tulisan ini dituangkan untuk konsumsi 30 hari bagi pembacanya karena ditulis sebanyak 30 chapter sehingga bagai air yang mengalir ke muara kesadaran bagi pembacanya. Tulisan ini mengajak pembaca untuk menghayati makna puasa, dan dibawa kepada kesadaran melihat makna hidup, lalu berbuat untuk memecahkan masalah, serta menjernihkan pikiran dalam berbuat amal yang bermanfaat. Di samping itu, menghindari perbuatan mubazir, menyia-nyiakan waktu, dan mampu memecahkan masalah sendiri.
Buku ini juga menjadi panduan dalam menghadapi Ramadhan, dan menuntun bagaimana dan apa yang harus dilaksanakan dalam berpuasa. Dengan demikian, puasa dapat benar-benar bermakna sebagaimana yang dimaksudkan oleh ibadah tersebut bahwa Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, dan magfirah, serta mulia.
Buku ini secara keseluruhan membina pembacanya dalam menata ibadah puasa menuju kesempurnaan. Langkah demi langkah disusun, mulai dari hari pertama Ramadhan sampai hari ke-30, bagaikan berjalan menuju satu titik, yaitu takwa. Ditata dengan membersihkan hati, pikiran, dan jiwa; membuang seluruh keburukan, sifat-sifat yang dibenci oleh Allah dan manusia, yaitu sombong, kikir, munafik, simbol-simbol/topeng yang merusak pergaulan antarsesama.
Perenungan dilakukan di awal Ramadhan dengan menyadarkan diri akan makna dan tujuan hidup. Pada buku Awareness of Ramadan dan dalam buku The 7 Awareness (dua buku tulisan Nanang Qosim Yusuf terdahulu) disebutkan bahwa manusia pada dasarnya lahir dalam kebahagiaan. Dante menyebutnya sebagai paradiso. Namun, karena kelemahan manusia, akhirnya jatuh ke dalam kesengsaraan/purgatorio.
Namun, jika manusia itu mampu menyadari dan berbuat baik, ia akan kembali ke alam kebahagiaan (paradiso), seperti Nabi Adam yang semula berada di surga, kemudian turun ke dunia, penuh dengan ujian dan persoalan dalam hidup. Namun, Allah menuntun manusia (anak-cucu Adam) dengan ajaran agama, dan beribadah, di antaranya dengan berpuasa agar kembali kepada kebahagiaan.
Allah mendidik manusia untuk berpuasa sebagai jalan menuju kemenangan dan ganjarannya adalah surga. Manusia semula berada dalam rahim ibu, di dalamnya manusia hidup nyaman. Namun, setelah dilahirkan ke alam dunia, manusia memiliki kelemahan, yaitu dikendalikan oleh nafsu dan berbagai godaan di sekitar hidupnya. Dari 12 bulan, dalam satu tahun, diciptakan Allah satu bulan; yaitu Ramadhan; sebagai alam purgatorio (pengampunan/magfirah). Apabila manusia mampu menjadi diri yang baik, yaitu muttaqin, akan masuk kembali ke dalam kebahagiaan, yaitu surga yang abadi.
Allah mengajarkan manusia untuk berpuasa dengan tujuan membentuk kepribadian yang tangguh, menumbuhkan ketajaman mata hati, peka terhadap penderitaan orang lain, lalu tumbuh sifat positif, yaitu kasih sayang kepada sesama.
Berpuasa sebulan penuh berdampak kepada kemauan untuk berbagi rezeki dengan zakat fitrah, sedekah, dan zakat mal. Di samping itu, tumbuh pula rasa syukur yang mendalam, menimbulkan perbuatan baik, ikhlas beramal, dan sabar jika menghadapi ujian.
Dengan berpuasa, diharapkan seseorang dapat membina hubungan yang semakin baik antara dirinya dengan Allah. Demikian juga antarsesama manusia. Kemudian muncul kesadaran yang tinggi dalam melaksanakan tugas sebagai orang tua, anak, suami/istri, karyawan, pengusaha, majikan, dan semua profesi tanpa pengecualian. Jika dihubungkan dengan situasi masa kini, banyak problem yang dihadapi dalam hidup. Namun, jika manusia itu orang yang sadar akan keberadaan dirinya di dunia ini, mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, tentu hidup dan kehidupannya semakin tenang, harmonis, dan jauh dari perselisihan, kejahatan, dan kerusakan. Dengan demikian, kedamaian dan keamanan akan tercipta di dunia ini.
Menurut Al-Ghazali, manusia memiliki nafs muthmainnah (tenang/damai), nafs kamilah (sempurna), nafs insaniah (kecenderungan kepada kebaikan, dan kesucian), nafs insaniah (kecenderungan berbuat baik), nafs lawwamah (menyesal jika bersalah), nafs bahiniah (naluri untuk mempertahankan hidup), dan nafs sabu’iyyah (kecenderungan untuk menjadikan orang lain sebagai mangsa atau memanfaatkan orang lain).
Dengan berpuasa, nafsu sabu’iyyah dan bahiniah dikendalikan, dan nafsu lawwamah diarahkan ke bertobat dan memohon ampun. Adapun nafsu kamilah diarahkan untuk berbuat baik dan menuju kesempurnaan. Nafsu insaniah disuburkan dengan zakat, sedekah, dan amal saleh. Demikian juga dengan nafsu muthmainnah, agar tumbuh ketenangan dan terwujud kebahagiaan.
Setelah berpuasa satu bulan, manusia kembali kepada fitrahnya, bersih dari dosa dan kesalahan, serta ikhlas dalam beramal. Lalu akan lahir seorang yang jujur, bersyukur terhadap nikmat Allah, sabar menghadapi ujian, dan baik hubungan antara dirinya dengan Tuhan dan sesama makhluk.
Buku ini menuntun pembacanya untuk membuat program untuk menghadapi hari esok. Visi dan misi yang jelas, langkah yang teratur, dan amal yang nyata, serta mengerti akan tujuan hidup di permukaan bumi ini sebagai Khalifah Allah.
Ismah Salman Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta