Oleh: Dede Sulaeman
Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, ''Ada dua nikmat di mana manusia banyak tertipu karenanya, yaitu nikmat kesehatan dan kesempatan.'' (HR Bukhari).
Kecenderungan manusia mencintai dunia telah diungkapkan dengan sangat baik dalam Alquran. Bahwa, manusia memiliki kecenderungan pada kesenangan terhadap perempuan, anak, dan perangkat fisik lainnya. Hal ini tidak dilarang. Manusia hanya diperintahkan menjaganya agar tidak berlebihan.
Namun, kenyataan menggambarkan bahwa manusia kebanyakan tidak bisa menahan untuk selalu berlebihan. Ramadhan yang lalu, kita bisa mengamati bagaimana budaya konsumtif memenuhi ruang bulan suci tersebut.Mulai hari pertama puasa, orang-orang sibuk menyiapkan makanan yang enak, lebih enak dari bulan biasa. Semua makanan disiapkan, bahkan berlebih. Akibatnya, kadang-kadang, tidak termakan.
Selain itu, pasar tiba-tiba menaikkan harga begitu tinggi. Namun, pembeli tetap saja banyak dan berbelanja secara berlebihan. Hal itu jelas bukanlah kegiatan yang diajarkan Rasulullah SAW untuk bersikap wajar, seimbang antara ibadah dan kesenangan dunia.Banyak hal menunjukkan bahwa manusia tidak bisa menahan untuk tak berlebihan. Padahal, berlebihan itu memiliki garis kedekatan dengan setan.
Maka, sikap waspada sangat penting. Waspada menjadi kunci supaya kita terhindar dari kesalahan yang sering tidak disadari. Hadis yang ditampilkan dalam pembuka tulisan ini menjadi sangat relevan untuk menjawab persoalan tersebut.Sekilas, kita akan mengerti bahwa setiap orang sering tidak mensyukuri nikmat. Ketika sehat, orang lupa pada sakit. Begitupun kesempatan. Saat orang memiliki banyak waktu untuk melakukan kebaikan, saat itu pula ia berniat menangguhkannya. Padahal, Allah SWT kapan pun bisa mengambil hidup manusia di dunia.
Maka, kenikmatan berupa kesehatan, kesempatan, kedudukan, dan kenikmatan lain yang sering melenakan manusia harus diwaspadai supaya tidak terjebak pada sikap menyia-nyiakan nikmat. Dengan itu, kita bisa menjadi manusia yang dicintai Allah SWT karena mengikuti petunjuk-Nya.
Kamis, 30 Oktober 2008
Kenikmatan yang Menipu
Senin, 27 Oktober 2008
Sebuah Akhir Kemiskinan
Oleh: Zaim Uchrowi
Awal pekan ini, saya ke Bengkulu Utara. Sebuah perjalanan yang membuat saya sempat membaca buku An End To Poverty? yang sudah lama tergeletak di kamar. Buku yang ditulis Gareth Stedman Jones ini mengangkat sebuah debat kesejarahan: bagaimana mengatasi kemiskinan? Latar belakangnya adalah Eropa di akhir Abad ke-18. Pada masa itu, kemiskinan masih menguasai kawasan tersebut walau kemajuan mulai melesat setelah berlangsung gerakan Pencerahan.
Renaisans. Adalah Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika yang dipandang sebagai titik mula pengakhiran kemiskinan. Itulah saat berkembang keyakinan untuk mewujudkan dunia yang terbebas dari kesulitan ekonomi yang serius. Dunia yang membuat ketidakberuntungan tak akan berkembang menjadi kemiskinan mendalam. Pemikiran Antoine Nicolas de Condorcet dan Tom Paine menjadi bahasan utama buku ini. Juga, perdebatan yang mengiringinya. Pemikiran itu tampaknya cukup penting untuk ikut berkontribusi dalam membangun Barat yang relatif bebas dari kemiskinan sekarang. Pemikiran serius yang mungkin belum pernah ada di kalangan umat, juga di masyarakat Nusantara ini, dalam beberapa abad terakhir.
Saya selalu menikmati perjalanan darat di daerah. Perjalanan begitu memungkinkan melihat dari dekat kehidupan masyarakat dari satu tempat ke tempat lainnya. Perjalanan yang biasanya akan membuat saya lebih banyak mengatupkan bibir. Sedih melihat kehidupan masyarakat ini. Itu yang hampir selalu saya dapatkan di berbagai perjalanan. Itu pula yang saya dapatkan di Bengkulu. Wajah kemiskinan begitu terasa. Saya meyakini gerakan pembangunan kependudukan dan lingkungan yang serentak akan menjadi kunci keberhasilan kita keluar dari kemiskinan. Namun, kenyataan di masyarakat selalu menunjukkan bahwa justru pembangunan kependudukan dan lingkungan itu yang paling terabaikan.
Pembangunan terpadu kependudukan dan lingkungan praktis tak terakomodasi oleh sistem politik, birokrasi, bahkan oleh sistem keagamaan yang berjalan. Dengan kondisi kependudukan dan lingkungan demikian, bagaimana cara Indonesia terbebas dari kemiskinan? Itu yang berkecamuk di pikiran saya hingga kemudian saya tiba di Laiz, kota kecamatan tempat seremoni penyerahan bantuan BUMN Peduli pada korban gempa Bengkulu. Di situ, saya bertemu Pak Syamlan, wakil gubernur Bengkulu, dan Pak Imron, bupati Bengkulu Utara, yang memberi kabar baik. Yakni, petani setempat selama beberapa tahun terakhir ini hidup makmur berkat kebun sawit.
Tak sedikit keluarga petani yang punya empat sampai lima motor, bahkan mobil. "TV-nya besar-besar dan semua punya VCD," kata Pak Syamlan. Kulkas dan pembangkit listrik sudah menjadi bagian kehidupan mereka. Tapi, saat ini, mereka tengah terperangah. Batuknya ekonomi di Amerika ternyata menjadi 'gempa' di perkebunan rakyat yang selama ini aman, tenteram, dan sejahtera. Harga sawit yang semula Rp 1500 terpangkas menjadi Rp 350, bahkan Rp 270 per kg. Harga pupuk melayang tinggi. Itu pun pupuknya tidak ada. Para petani menjerit.
Ekonomi tiba-tiba ambruk, sedangkan umumnya mereka tak punya tabungan. Hasil panennya selama ini lebih banyak dibelanjakan untuk barang-barang konsumtif itu, bukan buat ditabung. Berbagai perkiraan meyakini bahwa akan sangat banyak masyarakat yang segera jatuh miskin kembali akibat krisis global sekarang.
Saya terdiam. Sistem ekonomi yang sangat kapitalistik dengan permainan keuangannya (termasuk melalui bursa komoditas) memang menjadi biang kehancuran semua ini. Tetapi, terbukti pula bahwa mentalitas masyarakat juga punya andil besar dalam memiskinkan bangsa dan umat ini. Kemiskinan bukan semata persoalan ekonomi yang akan selesai dengan kucuran bantuan, bahkan juga dengan zakat. Lebih dari itu, kemiskinan juga persoalan kualitas kependudukan yang terkait dengan kualitas iman, mentalitas, serta kualitas pengetahuan dan keterampilan hidup. Sedangkan, kualitas kependudukan akan selalu kait-mengait dan tak dapat dipisahkan dengan penataan lingkungan yang mencakup tata wilayah, tata kota, sistem pemukiman, penghijauan, air dan kali bersih, udara segar, dan sebagainya.
Sebagaimana pandangan de Condorcet dan Paine, saya meyakini bahwa kemiskinan tak cukup diatasi dengan redistribusi ekonomi. Kemiskinan juga perlu diatasi dengan pendidikan karakter (seperti yang sekarang diperjuangkan Bu Ratna Megawangi). Juga, dengan membangun kemerdekaan spiritualitas. Akses pada pendidikan bagus serta kemerdekaan spiritualitas itu yang masih jauh untuk dapat sepenuhnya terwujud. Itu berarti kita masih memerlukan proses panjang untuk dapat melihat sebuah akhir kemiskinan di bangsa besar ini.
Jumat, 24 Oktober 2008
Khadijah
Oleh: Erwan Roihan
Khadijah binti Khuwailid menenangkan kegelisahan suaminya, Muhammad SAW, manakala menerima wahyu pertama di gua Hira`. Saat itu, Muhammad mengalami ketakutan karena didekap oleh Malaikat Jibril dan disuruh membaca, padahal beliau tidak dapat membaca. Muhammad pulang dengan membawa ketakutan seraya meminta Khadijah untuk menyelimutinya.
Khadijah menghibur suaminya tercinta seraya berkata, ''Sekali-kali tidak. Demi Allah. Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya. Sesungguhnya engkau selalu menyambung hubungan keluarga, engkau memikul beban tanggungan orang lain, engkau mengusahakan kerja bagi para penganggur, engkau memuliakan tamu, dan engkau juga mengerjakan berbagai kebaikan.'' (Shahih Al-Bukhari 1/5).
Muhammad SAW adalah lelaki terbaik sepanjang zaman dan manusia yang paling bertakwa kepada Allah. Walau demikian, beliau adalah manusia biasa yang mungkin saja mengalami ketakutan. Pada saat itulah, peran seorang istri shalihah sangat diperlukan di dalam menstabilkan keguncangan psikis yang dialami sang suami.
Khadijah adalah istri teladan. Dia adalah wanita yang menafkahkan dirinya dan hartanya untuk perjuangan Islam. Dia senantiasa setia menemani suaminya dalam segala keadaan, bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun. Pantaslah bila Nabi SAW merasa sangat kehilangan ketika Khadijah wafat, dan beliau terus mengenang istrinya itu sepanjang hayat.
Khadijah adalah gambaran keteladanan seorang istri. Ia mendampingi suaminya dalam usaha untuk meraih surga, dan mereka berdua berhasil meraihnya. Khadijah mendorong suaminya untuk bangkit berdakwah, manakala sang suami mengalami ''trauma psikologis'' saat menerima wahyu pertama.
Allah menghargai peran serta Khadijah di dalam perjuangan Islam. Sebuah rumah di surga telah disediakan untuk Khadijah, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis. ''Nabi SAW memberi kabar gembira kepada Khadijah berupa rumah yang terbuat dari permata, tiada suara bising di sana, dan tiada pula keletihan.'' (Shahih Al-Bukhari 12/188, hadis no. 3535).
Para istri, mari berkaca lagi. Sudahkan Khadijah ada dalam jiwa kita? Sudahkan kita menjadi Khadijah bagi suami kita? Ataukah kita masih menjadi istri yang berdiri di samping suami tapi tidak mampu menenangkan kegelisahan suami dan justru menjadi sebab kegelisahan suami?
Senin, 20 Oktober 2008
Wallahu A'lam
Oleh: Ahmad Syaikhu
''Wahai manusia, siapa yang mengetahui akan suatu (ilmu), maka berkatalah dengannya. Dan, siapa yang tidak mengetahui (ilmunya), maka berkatalah wallahu a'lam karena sesungguhnya jawaban yang demikian adalah bagian dari ilmu. Allah berfirman pada Rasul-Nya, 'Katakanlah (hai Muhammad) Aku tidak akan meminta upah sedikit pun atas dakwah-Ku dan bukanlah Aku termasuk orang yang mengada-adakan'.'' (HR Bukhari).
Adalah suatu hal yang lazim dilakukan oleh manusia, entah disadari atau tidak, malu atau gengsi untuk berkata 'tidak tahu', jika ditanyai akan suatu permasalahan. Bahkan, tidak jarang untuk menutupi ketidaktahuannya, seseorang berkata dusta. Padahal, dengan demikian, ia telah menzalimi orang yang bertanya dan secara tidak langsung ia juga telah membohongi diri. Bukankah Allah sangat tidak suka pada manusia yang berbicara tanpa pengetahuan? (lihat QS Albaqarah [2]: 80).
Hadis di atas dengan tegas menjelaskan dua sikap arif yang selayaknya dilakukan manusia saat bermuamalah. Pertama, berkata dengan ilmu. Maksudnya, manusia itu bersikap tidak enggan atau sungkan, apalagi malu, ketika mengungkapkan pendapat atas sebuah permasalahan yang diketahui atau mengetahui ilmunya.
Kedua, anjuran untuk berkata wallahu a'lam pada permasalahan yang tidak diketahui. Karena, sesungguhnya, berkata wallahu a'lam adalah sebuah ungkapan yang keluar dari lisan seorang yang memiliki pengetahuan.
Lebih tegas, Allah berfirman dalam QS Shaad ayat 86, ''Katakanlah (hai Muhammad), Aku tidak akan meminta upah sedikit pun atas dakwah-Ku dan bukanlah Aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.'' Maksudnya, Allah tidak akan memberikan beban pada urusan-urusan yang tidak diketahui oleh manusia.
Begitulah Allah dan Rasul-Nya mengajari kita. Tidaklah heran jika dalam riwayat lain, Rasul bersabda, ''Maka, hendaknya kalian berkata baik atau lebih baik diam (dibandingkan berkata yang tidak baik).'' (Alhadis).
Sejatinya, berkata tidak tahu, terlebih wallahu a'lam, tidaklah akan mengurangi martabat dan ilmu yang dimiliki. Sebaliknya, bersikap sok tahu bukan hanya menjerumuskan orang lain, tapi juga menistakan diri. Wallahu a'lam
Kamis, 16 Oktober 2008
Masjidku Rumahku
Oleh Ali Farkhan Tsani
Dengan perasaan cinta yang mendalam kepada sahabatnya, suatu ketika Abu Darda menulis surat kepada sahabatnya, Salman Al-Faris. Isi suratnya antara lain berbunyi, ''Wahai Saudaraku, pergunakanlah masa hidupmu untuk kepentingan ibadah, sebelum tiba bencana yang menyebabkanmu tidak dapat beribadah.
Wahai Saudaraku, jadikanlah masjid bagaikan rumahmu. Sebab, Rasulullah SAW pernah bersabda, 'Masjid itu sebagai rumah bagi orang yang bertakwa'. Allah telah menjamin bagi orang-orang yang menjadikan masjid sebagai rumahnya dengan kelapangan hati, kesenangan, kepuasan, kemudahan menyeberangi jembatan, selamat dari api neraka, dan segera menuju keridhaan Allah SWT.''
Menjadikan masjid sebagai rumah tampak terasa pada hari-hari selama bulan Ramadhan. Terutama sekali pada waktu malam hari, di mana kebanyakan umat Islam memakmurkan masjid dengan buka bersama, shalat berjamaah, shalat tarawih, taklim, tadarus Alquran, hingga beriktikaf pada sepuluh hari terakhir di dalamnya. Lepas Ramadhan, masjid kembali sepi.
Bagi mereka yang menjadikan masjid bagaikan rumahnya, yang selalu menambatkan jiwanya ke masjid, rindu melaksanakan ibadah berlama-lama di dalam masjid, dan berusaha menyucikan dirinya dari daki-daki dosa. Allah berkata di dalam kalam suci-Nya, ''Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.'' (QS Attaubah [9]: 108).
Menjadikan masjid sebagai rumah, bukan sebatas mendatanginya secara fisik. Tetapi, lebih jauh dari itu, selalu membawa hakikat masjid, yakni tempat bersujud, dalam setiap derap dan langkah kehidupan. Artinya, ke manapun kita pergi, di manapun kita berada, dalam keadaaan dan cuaca bagaimanapun, serta serumit apa pun masalah yang kita hadapi, hendaklah jangan lupa selalu kita memohon petunjuk-Nya, meminta perlindungan, mengharap pertolongan-Nya, seraya bersujud takluk pada syariat-Nya.
Mudah-mudahan dengan demikian, Allah pun berkenan memanjakan kita hamba-hamba-Nya yang cinta masjid dengan melipatgandakan ganjaran kebaikan, mewangikan bau mulut kita kelak dengan minyak kesturi, menghapuskan dosa-dosa kita yang telah lalu, serta menyediakan pintu khusus Ar-Rayaan untuk masuk ke dalam surga-Nya. Amin.
Rabu, 08 Oktober 2008
Minal Aidin
Oleh: M Bambang Edi Susyanto
Minal 'aidin wal-faizin adalah untaian kalimat yang sangat populer di sekitar Hari Raya Idul Fitri. Masyarakat Muslim Indonesia mengucapkan kalimat tersebut dalam perjumpaan sekitar masa Lebaran. Ungkapan ini jauh lebih populer daripada doa Lebaran yang lebih standar, yakni taqobbalallahu minnaa wa-minkum.
Secara bahasa, arti minal 'aidin wal-faizin adalah "dari (golongan) orang-orang yang kembali dan yang mendapat keuntungan". Jadi, sebenarnya ia merupakan penggalan doa yang kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut: "Semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai bagian dari (golongan) orang-orang yang kembali (al-'aa idun) dan yang mendapat kemenangan (al-faaizuun)". Dalam bahasa Arab, doa ini dapat dilafalkan sebagai berikut: Ja'alanallahu wa iyyaakum minal 'aidin wal-faizin."
Ungkapan minal 'aidin menggambarkan keinginan kita agar dijadikan Allah sebagai bagian dari orang-orang yang kembali kepada fitrah, bukan sekadar kembali makan (ifthar atau buka) setelah berpuasa.
Sementara itu, ungkapan wal-faizin mewakili harapan kita untuk menjadi pemenang atau mendapat kemenangan hakiki, yang berkaitan dengan keberhasilan proses penggemblengan selama Ramadhan yang merupakan bulan bakti (bulan amal salih) sekaligus bulan pendidikan (tarbiah).
Rasulullah menggambarkan keberhasilan puasa sebagai kembalinya sang pelaku kepada sifat-sifat fitri seorang bayi yang baru dilahirkan. Kembalinya fitrah ini dapat dikaitkan dengan bersihnya hati dari dosa karena amal salih selama Ramadhan dijanjikan akan menutup dosa pelakunya sebagaimana disabdakan Rasul. Kembali kepada fitrah juga dapat dikaitkan dengan kokohnya tauhid sebagaimana kokohnya jawaban kita atas pertanyaan Allah di saat kita belum dilahirkan, alastu birobbikum? (apakah engkau akui bahwa Aku Rabbmu?).
Adapun kemenangan, dapat dihubungkan dengan berbagai jenis kemenangan hakiki sebagaimana disebut dalam Alquran. Di antaranya, derajat yang tinggi di sisi Allah (QS At-Taubah [9]:20), ridha Allah (QS At- Taubah [9]:72), surga (QS At-Taubah [9]: 100), dan karunia dari Allah (QS Ad-Dukhaan [44]: 57). Kemenangan juga dikaitkan dengan sifat-sifat baik, yang dikembangkan selama Ramadhan. Yakni, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Ahzab [33]:71), kesabaran (QS Al-Mu'minun [23]: 111), serta takut dan ketakwaan kepada Allah (QS An-Nur [24]: 52).
Selasa, 07 Oktober 2008
Malu
Oleh: Imam Syarifuddin
Malu adalah sifat yang dipuji oleh semua makhluk, tidak terkecuali hewan. Karena, semua makhluk, khususnya manusia, tidak mau atau benci kalau dikatakan tidak bermoral, tidak beradab, aibnya diketahui orang, dan sebagainya. Malu adalah fitrah manusia.
Dalam Islam, malu adalah salah satu ciri keistimewaan akhlak Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ''Sesungguhnya, setiap agama memiliki keistimewaan akhlak. Dan, keistimewaan akhlak Islam adalah malu.''
Bahkan, dalam hadis lain, Nabi bersabda, ''Malu adalah sebagian daripada iman.'' Artinya, tidak sempurna iman seseorang kalau dia tidak memiliki sifat malu. Dan, Abu Na'im dalam kitab Mukhtarul Ahadist meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, ''Malu dan iman keduanya selalu berbarengan. Apabila salah satu di antaranya lenyap, yang lainnya pun akan lenyap pula.'' Karena, ''Malu tidak mendatangkan, kecuali kebaikan.'' (HR Syaikhan).
Iman dalam Islam memiliki tiga komponen yang saling berkaitan erat, tidak dapat dipisahkan, yaitu keyakinan, ikrar, dan amal perbuatan.
Apabila rasa malu hilang, seluruh kebaikan pun akan lenyap. Kalau kebaikan lenyap, apa yang dapat kita harapkan dari kehidupan dunia ini? Dan, yang harus kita waspadai adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Fitan, ''Sesungguhnya, Allah apabila ingin menghukum hamba-Nya, salah satu tandanya adalah hilangnya rasa malu.''
Maka, dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, kita harus memupuk rasa malu agar kebahagiaan, ketenteraman, dan keamanan dapat terwujud. Semua komponen masyarakat harus terlibat, baik pemimpin, cendekiawan, ulama, maupun rakyat. Karena, semua komponen saling memiliki ketergantungan. Malu bila mencuri hak rakyat, malu bila tidak bisa berbuat maksimal untuk kemaslahatan rakyat, malu bila menerima gratifikasi dalam ''baju'' parsel, dan sebagainya.
Ulama atau cendekiawan yang berfungsi sebagai penengah juga harus berbekal malu yang banyak. Malu bila mau diperalat penguasa, malu bila tidak bisa memberikan masukan yang positif bagi rakyat, dan malu bila menyembunyikan ilmu yang dimiliki. Semoga Allah SWT selalu menuntun, membimbing, dan melindungi pemimpin, ulama, dan rakyat negeri ini. Amin Ya Rabbal Alamin.
Minggu, 05 Oktober 2008
Sedih dan Bahagia di Hari Raya
Muh Ghafur Wibowo
Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Allah SWT telah melimpahkan berbagai perasaan di dalam hati manusia sebagai respons atas segala sesuatu yang dialami atau dirasakannya. Ada perasaan gembira, marah, benci, sayang, bahkan juga sedih dan bahagia.
Salah satu hikmah terbesar dari adanya berbagai macam perasaan tersebut adalah agar manusia merasakan dan mengakui kebesaran Allah Yang Maha Agung. Dua macam perasaan yang sering menghinggapi manusia di dalam hari-harinya adalah sedih dan bahagia.
Sedih (al-hazanu) muncul dari sesuatu yang tidak diinginkan, tidak disukai, tidak disenangi, atau rasa benci di dalam hati (Yamin, 2008). Adapun bahagia (as-sa’aadah) sebaliknya muncul dari sesuatu yang diinginkan, yang disukai, atau yang disenangi oleh hati.
Kedua perasaan tersebut dapat muncul karena hal-hal yang bersifat material (misalnya harta benda) maupun nonmaterial (termasuk spiritual). Ketika bulan Ramadhan berlalu digantikan oleh bulan Syawal (Hari Raya Idul Fitri), perasaan apa yang berkecamuk di dalam hati seorang Muslim?
Akankah ia bersedih hati ditinggalkan Ramadhan ataukah ia berbahagia karena kepergiannya? Kedua perasaan ini bisa saja hadir bersamaan, bisa pula hadir secara sendirian, tergantung pada pemahaman dan cara pandang yang digunakan.
Sedih di hari raya
Bagi hamba yang paham betul tentang berbagai keutamaan bulan Ramadhan, maka pasti kepergiannya menyebabkan kesedihan yang teramat sangat. Bagaikan seorang ayah dan ibu yang akan ditinggal pergi oleh anaknya merantau ke tempat yang jauh dalam waktu yang sangat lama. Muncullah pertanyaan, masihkah akan bertemu kembali suatu saat nanti?
Ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan pelipatgandaan pahala amal ibadah yang tidak ditemui di bulan-bulan lain. Bulan Ramadhan adalah sayyidusy syuhuur atau rajanya bulan. Berpisah dengannya tentu merupakan sebuah kehilangan yang teramat besar, mengingat tak ada yang bisa memastikan tahun depan masih bertemu kembali.
Para sahabat Rasulullah SAW dahulu justru sangat bersedih ketika Ramadhan akan segera berakhir. Seperti sabdanya sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas’ud: Sekiranya para hamba (kaum Muslim) mengetahui kebajikan-kebajikan yang dikandung bulan Ramadhan, niscaya umatku mengharapkan Ramadhan terus ada sepanjang tahun. (HR Abu Ya’la, ath-Thabrani, dan ad-Dailami). Pada detik-detik terakhir menjelang usainya Ramadhan, mereka merasakan kesedihan mendalam karena harus berpisah dengan bulan mulia itu. Bahkan, sebagian mereka menangis karena akan berpisah dengannya.
Kesedihan Rasul dan sahabat juga muncul karena kekhawatiran jika amal-amal mereka selama Ramadhan tidak diterima oleh Allah. Mereka lebih mementingkan aspek diterimanya amal daripada bentuk amal itu sendiri. Mereka memahami bahwa Allah hanya akan menerima setiap amal kebaikan dari hamba-hamba-Nya yang bertakwa (QS [5]:27). Yakinkah kita termasuk hamba-Nya yang benar-benar bertakwa?
Oleh karena itu, mereka berdoa (memohon kepada Allah) selama enam bulan agar dipertemukan lagi dengan bulan Ramadhan, kemudian berdoa lagi selama enam bulan berikutnya agar semua amalnya diterima. Jangan sampai mereka termasuk orang-orang yang disebutkan Rasulullah: "Betapa hina seseorang jika Ramadhan datang, kemudian pergi, sedangkan ia belum diberi ampunan." (HR at-Tirmidzi).
Bahagia di hari fitri
Sebagai kebalikan dari perasaan sedih, rasa bahagia muncul ketika ada sesuatu yang diinginkan, yang disukai, atau yang disenangi di dalam hati. Kebahagiaan yang dirasakan seorang Muslim ketika ia menjumpai Idul Fitri adalah karena keyakinan akan balasan Allah SWT atas orang-orang yang bertakwa.
Sungguh keberadaan ampunan dan pembebasan dari api neraka itu tergantung kepada puasa Ramadhan dan pelaksanaan shalat di dalamnya. Maka di kala hari raya tiba, Allah memerintahkan hamba-Nya agar bertakbir dan bersyukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada mereka.
Berbagai nikmat Ramadhan yang diterima di antaranya adalah kemudahan dalam pelaksanaan ibadah puasa, ampunan atas segala dosa dan pembebasan dari api neraka. Karena itu, sudah selayaknya setiap hamba memperbanyak dzikir, takbir, dan bersyukur kepada Tuhannya serta selalu bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar ketakwaan.
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur. (QS Albaqarah:185).Jadi, kebahagiaan yang dirasakan seorang Muslim di hari Lebaran bukanlah karena pakaian baru, rumah tertata, atau mobil mengkilap. Kebahagiaan yang hakiki di hari raya ini adalah karena diraihnya berbagai keutamaan Ramadhan yang telah Allah janjikan.
Kebahagiaan muncul karena kemenangan yang diraih atas peperangan melawan hawa nafsu dan godaan setan selama Ramadhan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dipesankan Imam Syafi’I: Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi orang yang mengenakan sesuatu yang serbabaru, tetapi dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah. Dengan demikian, aneh rasanya jika ada orang yang tidak melaksanakan berbagai ibadah di bulan Ramadhan, tetapi ia paling semangat dalam merayakan Idul Fitri.
Kebahagiaan dan kesedihan merupakan urusan hati. Ini karena hati merupakan pusat kesadaran manusia (Khalil, 2007) sehingga guncangan dalam hati dapat memengaruhi keseimbangan emosional manusia. Sebagai jawabannya, guncangan dalam hati hanya bisa ditenangkan melalui kedekatan pada Allah Yang Maha Tenang. Karenanya, sangat penting bagi setiap Muslim untuk kembali merenungkan hakikat Idul Fitri agar bisa menghadirkan rasa sedih dan bahagia di hari raya secara proporsional.
Mewujudkan Pesan Idul Fitri
Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam
pada Universitas Sains Malaysia
Ibadah puasa lazimnya digenapi dengan perayaan Idul Fitri, sebagai peristiwa kembali ke fitrah manusia. Sebuah momentum yang menggambarkan hakikat manusia sebagai citra Allah (Imago Dei). Dalam keadaan seperti ini, manusia siap menerima kebajikan dan kebenaran. Sayangnya, di dalam perjalanan hidupnya, manusia berhadapan dengan banyak godaan dan segera terjerembab dalam kebingungan eksistensial. Dalam keadaan seperti ini, mereka mengakrabi keliaran karena keteraturan tidak lagi dianggap sebagai patokan dan pedoman.
Puasa sejatinya mengajarkan pengamalnya sebagai pembiasaan dan pelaziman untuk menaati hukum alam, bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan fisik. Mereka tidak lagi leluasa memuaskan nafsu makan dan minum karena tubuh harus diberi kesempatan untuk mencerna. Pesan moral lain dari perbuatan menahan diri ini adalah adanya kemungkinan terciptanya sebuah tindakan komunikatif yang direkomendasikan oleh Jurgen Habermas, filsuf Jerman, di mana dalam sebuah percakapan mensyaratkan peserta menunda idealisme untuk mencapai konsensus minimal.
Ketidakmampuan menahan diri hanya melahirkan kesemrawutan karena ego manusia cenderung berlomba untuk menindas liyan. Contoh paling sederhana adalah keengganan pemakai kendaraan untuk tertib di jalan raya yang sebenarnya buah dari ketidaksabaran. Dengan menunda hasrat dan keinginan individu, hubungan manusia akan lebih sehat karena memberikan peluang anggota masyarakat mengaktualisasikan dirinya.
Selain itu, pengistirahatan tubuh juga memberikan kesempatan pada pemenuhan keperluan manusia yang kerap diabaikan, yaitu spiritual atau batin. Di sinilah orang tidak lagi diperbudak oleh nafsu badaniah yang tidak ada batas, sementara asupan batin tidak pernah aus oleh kebajikan, tafakur dan kesalehan. Dengan keberhasilan menahan makan selama sebulan yang bisa diukur secara kasat mata, maka tantangan lain yang perlu dilakukan individu adalah mengontrol perilaku.
Jalan menuju Tuhan
Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran bahwa dengan berpuasa diharapkan kaum Muslim bertakwa. Artinya, keberhasilan puasa diperlihatkan dengan pencapaian takwa, yang berarti mengimani yang ghaib (Tuhan, malaikat, jin), selalu menunaikan shalat, bersikap dermawan, memercayai apa yang telah diturunkan pada nabi sebelumnya serta alam akhirat atau eskatologi (Albaqarah: 3-4).
Dengan demikian, di luar Ramadhan, kaum Muslim meyakini Tuhan sebagai perhatian tertinggi (the ultimate concern). Oleh karena itu, dalam seluruh tindak tanduknya dia akan mewujudkan tindakan yang sejalan dengan kehendak Tuhan, bukan karena kepentingan pribadi semata-mata. Jika sebelumnya sembahyangnya alpa, maka keberterimaan puasa diukur dari keajekan mereka menunaikan shalat. Lebih dari itu, sikap spiritual ini juga diikuti dengan kepedulian sosial, menerima perbedaan dan eksistensi dunia setelah mati. Implikasi dari keteguhan memercayai dan mengamalkan semua di atas mengantarkan seseorang pada keikhlasan menjalani hidup.
Berkaitan dengan dunia eskatologi, Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur'an memberikan tafsir yang berlawanan dengan pemahaman kebanyakan yang menegaskan bahwa akhirat adalah kenikmatan surga dan neraka. Bagi sarjana neomodernis ini, kepercayaan pada akhirat adalah apabila pada satu detik manusia digoncangkan ke dalam kesadaran unik dan tidak pernah terjadi sebelumnya tentang perbuatannya. Gagasan dasar dari akhirat adalah agar manusia tidak larut dengan kepentingan-kepentingan sesaat dan senantiasa melanggar hukum moral.
Takwa, seperti dalam Alhujurat: 13, sekaligus menjadi penanda pengakuan terhadap nilai-nilai humanisme universal karena manusia tidak dilihat dari kedudukan sosial, etnik atau bangsa. Dengan jelas, Alquran menekankan kesetaraan manusia sehingga memungkinkan terciptanya hubungan manusia yang toleran, santun, dan berkeadaban.
Di dalam ayat lain (baca Almaidah: 2) takwa dikaitkan dengan sikap berlaku adil terhadap orang lain, bahkan kepada musuhnya. Ini adalah pernyataan yang terang benderang bahwa puasa itu berkaitan dengan dimensi sosial. Dari pengertian takwa yang luas ini, bisa dikatakan bahwa puasa sebagai kewajiban yang juga pernah diwajibkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad berhubungan erat dengan tuntutan terhadap adanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.
Hal lain yang wajib dilakukan Muslim di hari raya adalah mengeluarkan zakat. Di dalam kitab suci, perintah ini adalah untuk menyucikan secara lahir dan batin harta benda pemiliknya. Hal-hal yang berkaitan dengan lahir adalah kejelasan asal-muasal harta yang diperoleh. Zakat adalah penegasan bahwa kekayaan yang dipunyai oleh Muslim bukan didapat dari cara-cara yang tidak baik, apatah lagi dengan zakat kemudian dijadikan pembenaran rezeki yang dikaut dari korupsi, penipuan, dan perampokan.
Secara batin, zakat itu adalah penegasan bahwa pemiliknya merenungi makna kekayaan yang sesungguhnya bahwa harta bukan hanya milik dirinya, tetapi juga milik orang lain yang berhak menerimanya. Perintah zakat harus diberikan pada yang berhak menerima, seperti fakir miskin, amil (pengelola zakat), musafir adalah sebuah andaian bahwa manusia harus mengenal tetangga dan orang yang ada di sekitarnya. Secara eksplisit, ini mengajarkan kita bahwa perubahan itu harus dimulai dari sekitarnya, sebelum melakukan perubahan sosial lebih luas. Jika kesadaran ini dimiliki setiap individu, maka diharapkan timbul riak dan pada setiap titik riak itu akan melahirkan gelombang perubahan.
Perubahan perilaku
Berangkat dari uraian di atas, setelah bulan puasa Muslim seharusnya akan mengalami perubahan perilaku terhadap Tuhannya dan manusia. Intensitas kedekatan dengan Ilahi akan makin kuat dan kepedulian terhadap sesama juga bertambah. Bagaimanapun keimanan seseorang juga ditentukan sejauh mana Muslim mencintai sesama saudaranya. Pendek kata, hubungan vertikal dan horizontal berjalan beriringan.
Apatah lagi, tradisi bermaaf-maafan telah menyatu dengan perayaan ini. Sebuah kesempatan yang mengajarkan manusia untuk rela hati menerima ''kekurangan'' dan kesalahan orang lain dan berbesar hati untuk meminta ampunan pada liyan. Kesadaran semacam ini tentu mendorong manusia untuk tidak pongah dan memanjakan ego. Lebih penting lagi, kebiasaan ini dilakukan dengan keluarga, tetangga, dan rekan kerja, sehingga manusia tidak merasa asing dengan kehidupannya yang selama ini terbelenggu dengan rutinitas.
Sayangnya, kehidupan Ramadhan yang disemaraki dengan ibadah malam, seperti tarawih dan tadarus, demikian pula acara televisi berlomba-lomba menayangkan acara dan sinetron keagamaan, tiba-tiba raib satu hari setelah Idul Fitri. Masjid dan surau tiba-tiba sepi dan televisi kembali seperti semula, yaitu menyajikan kehidupan yang memanjakan konsumerisme dan hedonisme. Aura magis bulan suci tidak lagi terasa di mana ayat-ayat suci Tuhan banyak diperdengarkan.
Lalu, apa yang perlu dilakukan? Tentu setiap individu harus berusaha memindahkan ''aura'' Ramadhan dalam keseharian dengan tetap mengunjungi rumah Tuhan baik secara fisik maupun metaforik dan menunjukkan kepedulian terhadap sesama. Yang terakhir ini mengantarkan manusia pada perasaan berkecukupan. Mereka yang tidak pernah memerhatikan sesama hakikatnya adalah individu yang tidak bersyukur karena hidupnya digelayuti kecemasan karena selalu merasa kekurangan dan mengasyiki dunianya sendiri seakan-akan waktu tidak cukup bagi mereka untuk berbagi dengan liyan. Dengan kata lain, orang yang memberi, dengan sendirinya mereka merasa mempunyai lebih. Jadi, suci di sini tidak hanya dialami pada hari raya, tetapi seharusnya merembesi hari-hari sesudahnya.
Ikhtisar
- Puasa mengajarkan kepada pengamalnya tentang penahanan diri, keterbatasan dan pengendalian napsu.
- Keberhasilan puasa mewujud dalam tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan kepedulian sosial.
- Aura Ramadhan harusnya hadir dalam keseharian, diantaranya dengan kesediaan berbagi
Posisi Takwa Itu Mahal
Ahmad Syafii Maarif
Dalam upaya mengkritik diri sejujur-jujurnya, saya ingin mengatakan bahwa saya belum yakin apakah posisi takwa sebagai tujuan yang hendak diraih dalam puasa dan ibadah lainnya telah menjadi milik saya setelah berpuasa selama hampir 70 tahun. Dalam surat Albaqarah ayat 183, Alquran memang menggunakan ungkapan la'allakum tattaqun (semoga kamu berhasil meraih posisi takwa) dengan menjalankan puasa itu.
Istilah takwa merupakan salah satu konsep kunci dalam Alquran di samping iman dan Islam. Tidak kurang dari 242 kali konsep itu dalam berbagai bentuk dapat dilacak dalam kitab suci ini. Dengan demikian, fungsinya sangat sentral. Dari segi akar kata, takwa berasal dari tiga huruf w-q-y yang bermakna menjaga diri, baik dari kehancuran moral maupun dari kemurkaan Allah akibat penyimpangan perilaku seseorang dari jalan lurus.
Takwa adalah salah satu buah iman yang tulus. Iman yang tidak tulus adalah sebuah sandiwara, tidak punya bekas yang positif dalam mengarahkan perilaku kita ke jalan yang diridhai. Sebab itu, pemaknaan takwa dengan takut (kepada Allah) tidaklah terlalu tepat. Sebab, rasa takut akan menjauhkan seseorang dari yang ditakuti. Sementara itu, takwa kepada Allah justru sebaliknya, kita rindu untuk senantiasa mendekat kepada-Nya. Dalam perjalanan hidup, saya rasa rindu kepada Allah hanya datang kadang-kadang. Artinya, kualitas iman saya ternyata belum memadai.
Apa indikator takwa itu? Berbagai ayat Alquran telah menjelaskannya. Kita ambil yang paling sering dibaca pada bulan Ramadhan: ayat 133-136 surat Ali Imran yang artinya, "Dan, cepat-cepatlah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi mereka yang telah berhasil meraih posisi takwa.
[Yaitu] orang-orang yang memberikan infak, baik di saat lapang maupun di saat sempit, dan orang-orang yang mampu mengendalikan marah serta bersedia memaafkan [kesalahan] orang lain. Dan, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan [juga], mereka yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri [segera] mengingat Allah dan mohon ampun atas segala dosanya. Dan, siapakah yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, padahal mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Dan, [itulah] sebaik-baik balasan bagi orang yang beramal."
Cobalah simak baik-baik beberapa indikator takwa dalam ayat 34-35 di atas. Rasanya, saya sendiri belum pernah memiliki indikator itu secara utuh dan sempurna. Bolong dan kendalanya banyak sekali. Tentu, karena tingkat ketakwaan saya masih saja rendah. Padahal, usia sudah 73 tahun, liang kubur sudah sangat dekat. Inilah yang mencemaskan, inilah yang merisaukan. Dalam beribadah dan beramal, saya rasanya hanyalah seorang minimalis, Allah-lah yang Mahatahu akan segala kelemahan dan kekurangan diri saya.
Kadang-kadang, muncul pertanyaan ini, apakah hidup saya ini bernilai di sisi Allah? Jika jawabannya negatif, tentu berarti sebuah kegagalan, sesuatu yang sangat menakutkan. Tetapi, tentu saja kita tidak boleh berputus harap akan ampunan Allah atas segala dosa, kekurangan, dan kelemahan yang mengitari diri. Di sinilah barangkali fungsi doa yang harus terus-menerus kita sampaikan kepada Maha Pencinta hidup dan mati. Dalam masalah doa, memang saya tidak pernah lupa, sekalipun tidak selalu disertai hati yang khusuk, bening, dan rindu. Kadang-kadang, doa hanya asal dibaca, tidak sungguh-sungguh, sedangkan rahmat Allah kepada saya sekeluarga telah turun berjibun, tidak henti-hentinya, datang dari berbagai penjuru.
Hentakan Alquran adalah ini, "Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk secara khusuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan? Dan, janganlah mereka jadi seperti orang-orang yang telah diberi kitab sebelumnya. Kemudian, mereka melalui masa yang panjang, lantas hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik/durhaka." (Alhadid: 16). "Ya Allah, bimbinglah aku ke jalan yang lempang agar terhindar dari jurang kedurhakaan. Amin!"
Semua yang ditulis ini adalah pengalaman hidup yang saya lalui, tidak dibuat-buat, karena itulah kenyataannya. Dengan harapan, agar para pembaca akan jauh lebih manis dari apa yang saya rasakan. Posisi takwa bagi saya ternyata masih terlalu mahal untuk diraih, sekalipun telah berpuasa puluhan tahun.
Minal Aidin Wal Faizin
Oleh Muhammad Arifin Ilham
Kemenangan hakiki adalah kembali suci (lihat QS 91: 9). Setiap Bani Adam pasti berdosa dan sebaik-baik mereka yang berdosa adalah bertobat, demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Dan, orang bertakwa bukanlah orang yang tidak pernah bersalah; pernah bersalah kemudian insaf dan tidak pernah lagi mengulangi perbuatan dosanya (lihat QS 3:135). Pertama dan terakhir, itulah tanda taubatan nashuha. Tidak ada lagi keinginan melakukan dosa.
Orang bertakwa dan ahli ibadah pun diingatkan oleh Allah untuk tidak merasa paling suci karena Allah paling mengetahui siapa yang paling suci dan siapa kita sebenarnya (53;32). Tentu, peringatan Allah ini disebabkan sayangnya Allah pada mereka agar tidak 'GR' karena kealiman mereka. Dan, justru dengan peringatan ini, Allah ingin agar mereka yang bertakwa untuk tetap istikamah dengan ketakwaan mereka.
Sungguh kesempatan yang bersejarah dalam hidup ini dan lebih baik dari pada dunia dengan segala isinya adalah kesempatan bertaubat. Inilah karunia Allah yang paling besar, "Andaikan bukan karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun di antara kamu diberi kesempatan bertaubat kepada-Nya." ( QS 24:21). Karena itulah, jangan pernah menunda dan meremehkan kesempatan itu.
Bagi kita, Ramadhan adalah karunia dan rahmat besar itu. Ramadhan itu bermakna pembakaran. Tentu, sesuatu itu adalah yang dibakar oleh hal-hal yang tidak bermanfaat. Kalaupun dibakar, itu barang baik; tentu untuk lebih baik lagi, seperti besi dibakar agar menjadi gergaji, palu, atau pisau. Demikian pula kita di-Ramadhan-kan selama sebulan penuh karena Allah ingin agar orang-orang beriman itu memiliki pribadi yang canggih, yaitu pribadi bertakwa (lihat QS 2: 183).
Mari, kita becermin lagi menjelang berakhirnya bulan suci ini. Semoga tahun depan kita masih bisa bertemu Ramadhan lagi. Selamat Hari Raya Idul Fitri.
Enam Hari di Bulan Syawal
Oleh Ali Muakhir
Tanpa terasa, bulan Ramadhan telah berakhir. Selepas Ramadhan, bukan berarti anjuran melakukan ibadah terhenti. Rasulullah SAW bersabda dalam satu hadisnya menganjurkan umat Muslim melanjutkan ibadahnya dengan melakukan shaum sunah enam hari di bulan Syawal.
Shaum enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa wajib bulan Ramadhan banyak keutamaan dan imbalan pahala bagi yang mengerjakannya. Di antara keutamaannya adalah Allah akan menulis bagi yang mengerjakannya pahala shaum selama satu tahun penuh (jika ia berpuasa pada bulan Ramadhan).
Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih dari Abu Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringi dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh." (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah). Rasulullah telah menjabarkan lewat sabda beliau, "Barangsiapa mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal selepas Idul Fitri berarti ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Dan setiap kebaikan diganjar 10 kali lipat."
Para ahli fikih mazhab Hambali dan Syafi'i menegaskan bahwa puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa Ramadhan setara dengan puasa setahun penuh, karena pelipatgandaan pahala secara umum juga berlaku pada puasa-puasa sunah. Juga setiap kebaikan dilipatgandakan pahalanya 10 kali lipat.
Salah satu faidah terpenting shaum enam hari bulan Syawal adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Sebab, puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari akhir nanti akan diambil pahala shaum sunah tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.
Istana Ar-Rayyan
Oleh: Yusuf Burhanudin
Orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan akan mendapatkan istana megah di surga bernama Ar-Rayyan. Diriwayatkan Sahal bin Saad, Rasulullah bersabda, ''Sesungguhnya, di surga ada sebuah pintu bernama Ar-Rayyan yang hanya bisa dilalui orang-orang berpuasa. Kelak pada Hari Kiamat, (pintu itu) tidak bisa dimasuki orang, selain mereka. Kelak diseru, 'Manakah orang yang suka berpuasa itu?' Mereka lalu berdiri. Tidak akan masuk melalui pintu itu orang, selain mereka. Tatkala mereka semuanya sudah masuk, pintu itu dikunci sehingga tidak bisa masuk lagi seorang pun melalui pintu itu.'' (HR Muttafaq Alaih).
Sungguh berbahagia orang yang berpuasa karena mereka diistimewakan Allah dengan pintu surga yang khusus, Ar-Rayyan. Mengapa dinamakan Ar-Rayyan? Ar-Rayyan berasal dari kata Ar-Rayy yang berarti 'selalu mengalir', kebalikan Azh-Zham`u, yaitu haus dan dahaga. Dinamakan demikian karena di dalamnya banyak aliran sungai yang kelak mengobati dahaga dan hausnya para shaimin hingga mereka tidak pernah lagi merasakan haus dan dahaga untuk selama-lamanya.
Akan tiba saatnya Hari Kiamat, di mana seluruh manusia merasa haus dan dahaga bukan kepalang. Satu-satunya kelompok yang terbebas dari petaka dahaga adalah para shaimin. Rasulullah bersabda, ''Dan, aku melihat seorang lelaki dari umatku menjulurkan lidahnya kehausan. Namun, setiap kali ia menyongsong telaga, ia selalu dihalang-halangi. Datanglah para shaimin Ramadhan, mereka diberi minuman darinya hingga merasakan kesegaran.''
Selain minuman menyegarkan, penawar abadi haus dan dahaga, para shaimin juga memperoleh balasan meliputi semua hal yang ia puasai, yaitu kenikmatan aneka makanan dan persetubuhan. Balasan paling menggiurkan untuk shaimin adalah diberikan hak oleh Allah untuk memberikan syafaat pada saat puasa. Syafaat inilah yang kelak pada Hari Kiamat menjadi penolong utama di saat tidak ada pertolongan lain, selain pertolongan-Nya.
Rasulullah bersabda, ''Puasa dan Alquran kelak memberikan syafaat bagi seorang hamba di Hari Kiamat. Puasa berkata, 'Wahai Tuhanku, sungguh aku telah menahan dirinya dari makanan pada siang hari. Maka, perkenankan aku memberi syafaat untuknya'. Alquran berkata, 'Wahai Tuhanku, sungguh aku telah menahannya tidur malam hari, perkenankanlah aku memberi syafaat kepadanya'. Keduanya lalu diperkenankan (Allah) memberikan syafaat.'' (HR Ahmad dan Thabrani).
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Taqabalallahu minna wa minkum. Semoga Allah memberi kesempatan pada kita untuk bertemu Ramadhan lagi. Untuk meraih Ar-Rayyan, bukan sekadar menahan haus dan lapar belaka.