Oleh : Didin Hafidhuddin
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW bersama dengan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah --yang kemudian oleh Umar bin Khattab dijadikan sebagai awal kalender umat Islam (Tahun Hijriyah)-- adalah peristiwa sejarah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas dakwah sekaligus pembangunan dan pengembangan kualitas kehidupan kaum Muslimin secara lebih luas dan menyeluruh.
Harus disadari bersama bahwa terjadi hubungan timbal balik yang sangat kuat antara kegiatan dakwah dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jika dakwah dilakukan dengan perencanaan yang matang, dengan program dan langkah-langkah yang terukur, dan dengan para pelaku (dai) yang memiliki akhlakul karimah, maka peningkatan kualitas kehidupan akan nyata dirasakan.
Sebaliknya, jika dakwah yang dilakukan tanpa perencanaan, tanpa program yang jelas dan terukur, serta kurang menyentuh kehidupan nyata yang dirasakan masyarakat, atau kaum Muslimin sama sekali tidak memiliki komitmen yang kuat untuk terlibat dalam kegiatan dakwah dalam berbagai macam aspek kehidupan, maka akan terjadi dominasi kemunkaran dan kebathilan pada kehidupan umat, seperti yang kita rasakan saat ini.
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: ''Apabila umatku sudah mengagung-agungkan kehidupan dunia (menjadikan materi, jabatan, dan kedudukan sebagai tujuan perjuangannya), maka akan diangkat/dicabut keagungan ajaran Islam. Dan apabila umatku sudah meninggalkan kegiatan amar ma'ruf nahi munkar (meninggalkan kegiatan dakwah dalam berbagai aspek kehidupan), maka umatku akan terhalang untuk mendapatkan keberkahan wahyu (keberkahan dari Allah SWT)''.
Sementara itu dalam hadis riwayat Imam Bazzar, Rasulullah SAW memberikan dua pilihan bagi kita semua, aktif terlibat dalam melakukan kegiatan dakwah yang akan menghasilkan kehidupan yang sejahtera lahiriah maupun batiniah di bawah kendali kepemimpinan orang-orang yang bertaqwa, atau jika meninggalkannya, maka yang menjadi pemimpin yang mengendalikan kehidupan adalah orang-orang yang jahat serta doa kaum Muslimin (yang pasif) tidak akan pernah dikabulkan oleh Allah SWT.
Empat pilar kekuatan umat
Paling tidak ada empat pilar kekuatan yang dibangun Rasulullah SAW dan para sahabatnya di Madinah yang harus menjadi concern kita dalam melakukan kegiatan dakwah sekarang ini. Pertama, kekuatan akidah dan ibadah, dengan cara membangun masjid. Masjid di zaman Rasul (Masjid Quba dan Nabawi) di samping dibangun fisiknya secara baik (bersih, suci, menyejukkan, dan menyehatkan), juga ditekankan pada pembangunan orang-orang yang memakmurkannya.
Jadilah masjid tempat pembinaan kaum Muslimin yang memiliki kekuatan akidah, ibadah, akhlak, berjamaah, berukhuwah dan kekuatan berkorban untuk menegakkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan di luar masjid dan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Allah SWT berfirman dalam QS 9: 108 : ''... sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar ketakwaan sejak hari pertama adalah lebih baik kamu salat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin menyucikan diri. Dan, Allah sangat mencintai orang-orang yang suci dan bersih''.
Di zaman Rasulullah SAW masjid benar-benar berfungsi sebagai kekuatan perekat hubungan manusia dengan Allah SWT dan dengan sesamanya. Masjid telah menjadi tempat yang sangat dicintai dan dirindukan kehadirannya oleh masyarakat pada saat itu. Hal ini pulalah yang harus kita lakukan sekarang ini. Di dalam masjid, di samping kita ruku dan sujud bersama-sama, juga bisa berdialog, berinteraksi sekaligus melakukan aksi-aksi sosial yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitar masjid.
Pada hari Sabtu kemarin (10 Muharam 1429 H, bertepatan dengan tanggal 19 Januari 2008) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi telah mencanangkan Gerakan Memakmurkan Masjid Melalui Pembentukan Unit Pendayagunaan Zakat (UPZ) Masjid Sebagai Ujung Tombak Pembangunan Masyarakat. Dengan kegiatan ini diharapan masjid dapat ditingkatkan perannya dalam meningkatkan kualitas kehidupan para jamaahnya.
Kedua, kekuatan ekonomi, yaitu dengan melahirkan para pelaku bisnis yang handal yang menguasai roda ekonomi, seperti menguasai pasar, dengan tetap memiliki integritas kepribadian yang utuh dan tangguh berdasarkan nilai-nilai Islami, sehingga praktik bisnisnya tidak menghalalkan segala macam cara, seperti penipuan, pengurangan takaran dan timbangan, atau praktik-praktik buruk lain yang merugikan, seperti yang dilakukan oleh Abdurrahman bin 'Auf dan sahabat-sahabatnya.
Di samping menguasai pasar, mereka pun mampu mengendalikan kegiatan ekspor-impor berbagai komoditas dari dan ke Madinah, sehingga Madinah di samping menjadi pusat kegiatan ibadah (mahdhah), juga menjadi pusat kegiatan ekonomi. Sektor ekonomi adalah salah satu kekuatan yang sangat menentukan kehidupan umat, bahkan kadangkala menentukan baik buruknya kepribadiannya. Betapa banyak orang yang lemah akidahnya serta lemah imannya, menggadaikan atau menukarkan keyakinannya dengan kekufuran, kemusyrikan dan kemaksiatan karena lemahnya kehidupan ekonomi.
Inilah yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya : ''Hampir saja kefakiran itu akan menyebabkan kekufuran''. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini, kita merasakan betapa ketergantungan ekonomi pada kekuatan asing, telah menyebabkan bangsa kita dikendalikan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang politik, hukum dan kebudayaan, yang menyebabkan hilangnya harga diri bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka.
Karena itu, kita harus berupaya kembali dengan penuh kesungguhan untuk membangun kekuatan ekonomi yang berwawasan moral, misalnya dengan cara menumbuhkembangkan institusi keuangan syariah, mengendalikan pasar, menguasai jalur distribusi, dan menumbuhkembangkan kekuatan produksi berbagai barang kebutuhan umat. Allah SWT sangat memuji orang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, tetapi sangat tekun dan sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan ekonomi (perhatikan QS 24 : 36-38). Etos kerja dan etos wirausaha untuk mencari dan mengusahakan rezeki yang halal dan bersih, harus ditumbuhkembangkan kembali di kalangan kaum Muslimin. Kaum Muslimin tidak boleh menggantungkan hidupnya pada umat dan bangsa lain.
Adalah sangat menarik pidato Presiden RI; Dr H Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Festival Ekonomi Syariah (FES) di JCC, Rabu 7 Muharam 1429 H, bertepatan dengan 16 Januari 2008 yang lalu yang menekankan perlunya ekonomi syariah dibangun secara bersama-sama, agar ekonomi umat menguat. Bahkan secara tegas beliau juga meminta kepada Menteri Agama, Menteri Keuangan, dan Menteri Hukum dan HAM, agar rancangan Undang-Undang Perbankan syariah dan rancangan Undang-Undang Sukuk bisa segera dijadikan undang-undang. Dengan harapan agar lebih meningkatkan peran ekonomi syariah terhadap kegiatan ekonomi bangsa.
Ketiga, kekuatan sosial, yang ditandai dengan al-muakhah (kegiatan mempersaudarakan) antara sahabat Muhajirin yang berasal dari Makkah dan berhijrah bersama Rasul, yang ikhlas dan ridha meninggalkan tanah air, keluarga dan harta bendanya demi mempertahankan akidah dan mengembangkan dakwah Islamiyah, dengan sahabat Anshar, penduduk asli Madinah yang memiliki kesiapan yang tinggi untuk mengorbankan segala sesuatu bagi kepentingan sahabat Muhajirin, walaupun mereka sendiri membutuhkannya (kekuatan Itsar).
Tugas kita sekarang, membangun secara serius hubungan persaudaraan antara sesama kaum Muslimin dengan mengedepankan titik-titik persamaan dan membuang jauh-jauh berbagai perbedaan yang ada. Karena sesungguhnya setiap orang yang beriman itu adalah bersaudara, walaupun mungkin terjadi berbagai perbedaan, seperti dinyatakan dalam QS 49: 10. Jika umat Islam terus-menerus bertentangan dan berpecah-belah satu dengan yang lainnya, maka yang terjadi adalah kegagalan dalam perjuangan dan hilangnya kekuatan umat. Perhatikan firman-Nya dalam QS 8: 46.
Keempat, kekuatan politik, dengan dilahirkannya Piagam Madinah, yang merupakan piagam tertulis pertama di dunia, jauh sebelum munculnya Declaration of Human Rights yang dilahirkan PBB pada tahun 1948. Dalam Piagam Madinah tersebut, antara lain diatur hubungan Muslim dengan non-Muslim seperti Yahudi dan Nasrani. Dengan piagam ini, jelas sekali ajaran Islam dan umatnya sangat menghargai perbedaan agama.
Ketika umat Islam berkuasa memimpin pemerintahan dan negara, tidak pernah terjadi pemaksaan terhadap umat lain untuk masuk ke dalam agama Islam, karena memang hal ini secara prinsip dilarang Al-Quran secara tegas, seperti dikemukakan dalam QS 2 : 256 dan QS 10 : 99. Bahkan kaum Muslimin tidak dilarang berhubungan secara muamalah, misalnya dalam hubungan kegiatan ekonomi dan ketetanggaan dengan non-Muslim, selama mereka tidak mengganggu akidah, ibadah, dan dakwah kaum Muslimin. Hal ini sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam QS 60 : 8-9. Karena itu, tidaklah beralasan sama sekali jika non-Muslim takut kepada kaum muslimin dan takut kepada syariat Islam. Yang justru sangat mengherankan, jika ada tokoh Islam yang takut dengan pelaksanaan syariat Islam.
Stigma-stigma negatif seperti terorisme dan kekerasan yang dimunculkan sekarang ini sesungguhnya bukanlah bersumber dari ajaran Islam, akan tetapi banyak dibesar-besarkan oleh orang-orang maupun bangsa yang tidak senang dengan kemajuan umat Islam. Sesungguhnya ajaran Islam memberikan rahmat dan kasih sayang kepada kehidupan umat manusia dan alam lainnya, sebagaimana dinyatakan dalam QS 21 : 107.
Karena itu, memperingati pergantian tahun Hijriyah, harus disertai dengan kesadaran yang kuat untuk melakukan upaya-upaya konkret dalam membangun kualitas kehidupan umat dalam berbagai aspek kehidupan. Wallahu a'lam bi ash-shawab.