Selasa, 01 Juli 2008

Bahagia dan Mulia

Oleh : Rita Zahara Nurliyah

Pada suatu hari serombongan fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah SAW, ''Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala hingga tingkat yang paling tinggi.''

Nabi SAW bertanya, ''Mengapa engkau berkata demikian?'' Mereka menjawab, "Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka pun puasa sebagaimana kami puasa, mereka bersedekah sedangkan kami tidak bersedekah, dan mereka memerdekakan budak sedangkan kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.''

Setelah mendengar keluhan orang fakir tadi, Rasulullah lalu bersabda, ''Sukakah aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorang pun yang lebih utama dari kamu, kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?'' Dengan antusias mereka menjawab, ''Baiklah, ya Rasulullah.'' Kemudian Nabi SAW bersabda, ''Bacalah subhanallah, Allahu akbar, dan alhamdulillah setiap selesai shalat masing-masing 33 kali.''

Setelah menerima wasiat Rasulullah, mereka pun pulang ke rumah masing-masing untuk mengamalkannya. Tidak lama berselang, para fakir miskin itu kembali mengeluh kepada Rasulullah SAW, ''Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya mendengar perbuatan kami lalu mereka berbuat sebagaimana perbuatan kami.''

Maka Nabi SAW bersabda, ''Karunia Allah SWT diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki.'' (HR Bukhari). Perilaku si miskin dan si kaya yang kita dapati dalam hadis di atas sama-sama mulia. Keduanya memilik sifat yang begitu mulia, saling berlomba dalam setiap kebaikan.

Si kaya yang beruntung dengan dikaruniai limpahan rezeki tidak menjadikannya bak si Qorun yang pongah dan bakhil. Ia sadar betul bahwa semua itu hanyalah titipan dari Allah SWT yang mesti dipergunakan di jalan yang semata-mata hanya untuk mencari keridhaan-Nya. Kekayaan tidak menjadikannya lupa daratan, namun menyadarkannya untuk lebih bederma karena di dalamnya begitu banyak hak orang lain yang mesti ditunaikan.

Begitu pula dengan potret si miskin yang tidak mau kalah beramal, ia selalui mencari solusi untuk bersaing dengan sehat untuk mencari keunggulan dalam beribadah, sadar akan ketidakberuntungan materi tidak menjadikannya patah arang untuk memberikan pengabdian terbaik bagi Allah SWT.

Menjadi kaya atau miskin tentu membutuhkan mental untuk menerima kenyataan. Namun, yang terpenting adalah kesiapan mempersembahkan yang terbaik bagi Allah SWT setelah diberi ketentuan satu di antara keduanya. Dengan begitu, ia akan menjadi pribadi yang bahagia dan mulia.

Tidak ada komentar: