Senin, 01 Desember 2008

Nasihat untuk Pekerja Otak; Jangan 'Bakiah'


Oleh Ahmad Syafii Maarif

Saya tulis Resonansi ini sambil berbaring di Jogja International Hospital, setelah dapat izin dari dokter ahli THT yang sangat ramah. Tetapi tulislah, katanya, yang tidak melibatkan emosi, sebab jika otak biasa bekerja, dibiarkan nganggur, malah stres. Dengan izin dokter ini, sedikit kesulitan teknis dapat saya atasi. Fasilitas yang saya pakai adalah sarana e-mail Blackberry di ponsel.

Bulan November ini saya dua kali ambruk, pertama tidak dibawa ke rumah sakit, bisa pulih sendiri dengan istirahat total di rumah; kedua lebih berat, terpaksa diadukan kepada dokter ahli penyakit dalam THT. Tidak tahu saya harus berapa lama dirawat, akan saya terima dengan sabar dan tenang. Penyebab utama sakit ini sesungguhnya tidak perlu tanya dokter, istri saya pasti akan menjawab karena 'bakiah'. Saya dikatakan 'bakiah' (bahasa Minang: keras kepala) atau mungkin lebih dari itu.

Apa buktinya saya 'bakiah'? Bila lagi menulis sedang didesak deadline, sering tidak kenal waktu, siang malam. Tidak jarang melampaui tengah malam. Akibatnya, ternyata bisa fatal, apalagi dalam usia senja seperti saya. Jika kehendak pikiran diperturutkan, rasanya sehari semalam terlalu pendek. Maunya bergelut terus dengan komputer untuk mendapatkan informasi terakhir tentang berbagai masalah global dan nasional, tidak habis-habisnya.

Demikianlah bulan November ini, di samping untuk Resonansi, Perspektif, juga harus menulis makalah untuk Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, Kementerian Polhukam, dan Habibie Center. Selain itu, ada pula dialog dengan forum studi kemasyarakatan di Jakarta. Sekalipun tanpa makalah, energi terkuras juga di forum ini. Forum ini ternyata anti-Obama, dengan menghadirkan seorang Amerika sebagai salah seorang narasumber. Tidak tanggung-tanggung, menurut si bule ini, bagi dunia Islam, Obama lebih berbahaya dari Bush. Padahal, belum dilantik, bukan?

Bukan saja sampai batas itu. Umat Islam jangan lagi belajar ke Amerika, pergilah ke negara-negara lain agar otak tidak tercuci oleh virus kapitalisme. Anda bisa bayangkan suasana dalam forum itu. Ini semua sedikit banyak telah menguras energi, sekalipun di ujung pertemuan pekik Allahu Akbar sudah tidak terdengar lagi, iklim anti-Obama mulai melemah. Tetapi, akumulasi beban otak saya selama beberapa hari ini telah memaksa saya harus masuk rumah sakit. Teman-teman dari Maarif Institute telah cukup berperan untuk membuat forum itu lebih dewasa dalam bersikap.

Akhirnya, nasihat saya kepada para pekerja otak, khususnya yang sudah lanjut usia, hanya satu: jangan 'bakiah'! Hargai saran istri, anak, dan teman. Manusia terbatas, sementara jelajah otak tanpa batas. Perlu dicari keseimbangan antara keterbatasan dan yang takterbatas, tetapi saya tidak selalu berhasil. Semoga yang lain lebih berhasil. Kerja otak sangat penting untuk mencegah kepikunan. Seorang Rosihan Anwar dalam usia 86 tahun, otaknya masih encer dan tulisannya terus mengalir, seperti tak terbendung dan memang jangan dibendung. Dunianya memang berada di sana, sebuah dunia yang teramat luas, luas sekali.

Dalam keadaan sakit, sulit juga menghentikan kerja otak, sekalipun harus dibatasi.

(-)

Benarkah NU dan Muhammadiyah Gagal?


Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng


The Jakarta Post edisi 26 November 2008 memberitakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Ciputat mengadakan survei pada Oktober 2008. Respondennya ustadz, termasuk dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang dikenal moderat.

Survei mengungkap 62,4 persen responden menolak dipimpin oleh seorang non-Muslim, 68,6 persen responden menolak non-Muslim menjadi kepala sekolah dan 33,8 persen menolak guru non-Muslim mengajar di sekolah. Lalu, 73,1 persen menolak pemeluk agama lain membangun rumah ibadah di dalam lingkungan rumah mereka.

Tercatat 85,6 persen dari guru melarang siswa mereka merayakan peristiwa besar yang dipersepsikan sebagai tradisi Barat, 87 persen responden melarang siswa mempelajari agama lain, dan 48 persen responden menyukai siswa dan siswi dipisah ruang kelasnya.

Direktur PPIM Jajat Burhanuddin mengatakan pandangan antipluralis akan tercermin dalam pendidikan yang mereka berikan. Katanya, ustadz itu akan memainkan peran penting dalam memajukan konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim pada saat ini.

Terdata 75,4 persen dari responden meminta siswa mengajak guru non-Muslim pindah ke agama Islam, 61,1 persen menolak sekte baru Islam, 67,4 persen merasa menjadi Muslim terlebih dulu baru menjadi orang Indonesia. Mayoritas mendukung penerapan hukum Islam di Indonesia untuk memerangi kriminalitas.

Menurut survei, 58,9 persen responden mendukung rajam (dilempari batu) sebagai hukuman terhadap semua tindak pidana, 47,5 persen mengatakan pencuri harus dipotong sebelah tangan dan 21,3 persen menghendaki hukuman mati bagi yang murtad dari Islam. Hanya tiga persen yang mengatakan mereka punya tugas menghasilkan siswa yang toleran.

Lalu, 44,9 persen dari ustadz mengaku anggota NU dan 23,8 persen mengaku pendukung Muhammadiyah. PPIM berkesimpulan kedua ormas Islam yang dikenal moderat itu gagal menanam nilai moderat kepada pengikutnya di tingkat akar rumput.

Ternyata moderasi dan pluralisme hanya dimiliki oleh para elite. Jajat khawatir fenomena semacam ini akan menyumbang pada meningkatnya radikalisme dan terorisme. Benarkah kesimpulan tersebut?

Hukum agama vs hukum negara
Tidak dijelaskan berapa banyak sekolah di mana para ustadz itu mengajar adalah sekolah negeri (MIN, MTsN, dan MAN). Kalau sekolah itu milik swasta (yayasan, ormas atau pesantren), rasanya tidak aneh mereka menolak kepala sekolah non-Islam. Sekolah NU dipimpin oleh kepala sekolah dari Muhammadiyah atau Persis dan sebaliknya, tampaknya juga ditolak. Untuk sekolah swasta, angka 68,6 persen menurut saya terlalu rendah. Kondisi ini bukanlah pembangkit radikalisme, apalagi terorisme.

Yang menolak presiden non-Islam bukan hanya ustadz di tingkat akar rumput. Ulama terkenal tingkat nasional, seperti Kiai Ali Yafie juga menolak. Penolakan itu didasari dalil kuat dari Alquran dan Hadis. Yang perlu kita permasalahkan ialah apakah dalam penyusunan UU para tokoh Islam memperjuangkan penolakan itu atau tidak? Apakah karena itu Kiai Ali Yafie dapat disebut meningkatkan radikalisme?

Kalau 58,9 persen menghendaki rajam untuk pelaku zina, tampaknya juga bisa dipahami karena itu diajarkan dalam fikih di pesantren dan madrasah. Yang cukup mengejutkan, 21,3 persen menghendaki hukuman mati bagi yang murtad. Yang penting mereka paham UU kita tidak menentukan hukuman itu untuk kedua masalah di atas dan tidak melakukannya dalam praktik sehari-hari.

Tampaknya cukup banyak yang tidak bisa (atau tidak mau?) membedakan antara hukum Islam dan hukum negara. Contohnya ialah Puji yang menikahi Ulfah (12 tahun) berdasar pemahaman Islam yang kurang matang dan tidak mengetahu itu dilarang oleh UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Juga mereka yang menikah kedua kali atau lebih tanpa alasan yang sesuai UU. Pernikahan itu melanggar UU Perkawinan, tetapi tidak ada sanksinya.

Menurut survei, hanya tiga persen responden yang merasa punya tugas menghasilkan siswa toleran. Tidak dijelaskan apakah toleran itu dalam masalah sosial atau masalah akidah. Kalau toleransi masalah akidah, tampaknya ditolak oleh hampir semua ustadz dan kiai. Tetapi, toleransi sosial tidak ada masalah, sudah banyak diterapkan.

Indonesia vs Islam
Menurut survei, 67,4 persen merasa sebagai Muslim dahulu baru sebagai warga negara. Dalam tulisan di Republika berjudul ”Keindonesiaan dan Keislaman” saya katakan sepanjang hidup saya tidak pernah dihadapkan pada tuntutan apakah memilih Islam atau Indonesia. Menanggapi tulisan itu, seorang kawan dosen UI yang sedang mengambil S3 mengatakan baginya Muslim dahulu baru warga negara Indonesia karena Muslim mencakup kehidupan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, banyak kalangan terdidik Islam yang berpikir mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam.

Bagi NU, Deklarasi Hubungan Islam dengan Pancasila (1983) telah mengakhiri pertentangan antara Islam dan Indonesia. Prinsip itu telah diikuti oleh banyak ormas Islam.

Berdirinya partai berasas Pancasila dengan basis massa Islam, seperti PKB dan PAN, adalah buah dari deklarasi itu. Tetapi, kita juga melihat adanya PPP dan PMB yang tetap berasas Islam.

Perlu diperhatikan, masih terdapat pertentangan pendapat yang amat tajam kalau kita menghadapi problem seperti RUU Pornografi, Ahmadiyah, yang biasa diselesaikan dengan demo oleh kedua kelompok. Demo itu biasanya akan diikuti dengan konflik fisik. Masih akan ada pertentangan yang lebih hebat kalau kita membahas RUU yang menyangkut perkawinan lintas agama.

Suka atau tidak, mayoritas umat Islam tidak setuju apabila ada gereja dibangun di lingkungan tempat mereka. Yang menjadi masalah, apakah kalau ada gereja yang dibangun dengan memenuhi seluruh ketentuan dalam Perber Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 2005 tentang Pendirian Rumah Ibadah, bagaimana sikap mereka? Jangan sampai mereka menggunakan kekerasan.

Gagal memerangi korupsi
Menurut Direktur PPIM, hanya elite Muhammadiyah dan NU yang meyakini moderasi dan pluralisme. Menurutnya, NU dan Muhammadiyah telah gagal menanamkan nilai-nilai tersebut kepada pengikut di tingkat akar rumput. Apakah kesimpulan itu benar?

Pluralisme dalam pengertian semua agama sama jelas ditolak oleh mayoritas tokoh NU dan Muhammadiyah termasuk Rais Aam PBNU, Ketua Umum PBNU, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Memang ada sejumlah kecil tokoh Muhammadiyah dan NU yang menerima pendapat semua agama sama.

Menurut saya, moderasi ialah sikap tidak berlebih-lebihan, tidak ekstrem, sikap lunak. Kalau suatu kelompok menolak ajaran sekte Islam lain, menurut saya tidak apa-apa. Masalah timbul apabila sekte tersebut mengatakan secara terbuka mayoritas Islam di suatu tempat adalah musyrik. Harus dihindari tuduhan musyrik itu secara terbuka. Yang harus dicegah ialah tindakan kekerasan antara sesama Islam dan antaragama.

Menurut saya terlalu jauh kalau hasil survei itu dikhawatirkan akan meningkatkan terorisme. Radikalisme harus dibedakan antara radikalisme dalam pemikiran dan radikalisme dalam bentuk tindakan fisik. Saya tidak membaca hasil lengkap survei itu, hanya membaca melalui koran. Walaupun kecil, tetap ada kemungkinan komentar saya salah.

Ikhtisar:
- NU dan Muhammadiyah gagal membantu pemerintah memerangi korupsi.
- Perlu menggalakkan dakwah yang menjelaskan Islam menentang terorisme dan tindak kekerasan.
- Jihad utama umat Islam memerangi korupsi dan ketidakadilan, melawan kebodohan dan membasmi kemiskinan.

Mualaf


Oleh Ali Farkhan Tsani

Dalam salah satu riwayat, dikisahkan bahwa pada awal masa keislamannya, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Rasulullah, ''Wahai Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?'' Rasulullah pun menjawab, ''Memang benar! Demi Allah, hidup dan mati kita dalam kebenaran.'' Umar berkata kembali, ''Kalau begitu, mengapa kita berdakwah secara sembunyi-sembunyi? Demi Yang Mengutus Anda, demi kebenaran, kita harus keluar!''

Benar saja, Umar pun langsung menyampaikan dakwah Islam kepada keluarganya. Putranya, Abdullah bin Umar menjawab bahwa dirinya telah memeluk Islam sejak satu tahun sebelumnya. Maka, Umar bin Khattab pun menjadi marah dan berkata kepada putranya, ''Mengapa engkau menyembunyikan keislamanmu dan membiarkan ayahmu? Apakah engkau tega sekiranya aku mati dalam kekafiran? Apakah engkau meninggalkan ayahmu, wahai Ibnu Umar?''

Kemarahan Umar sebagai orang yang baru memeluk agama Islam (mualaf) berangkat dari rasa syukurnya atas nikmat dan hidayah yang Allah berikan kepadanya berupa Islam sebagai agamanya. Wujud syukurnya sebagai mualaf adalah dengan menyampaikan dakwah Islam secara terbuka kepada kaum kerabatnya dan kepada manusia lainnya.

Hingga kemudian, turunlah firman Allah, ''Maka, sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.'' (QS Alhijr [15]: 94).
Sang mualaf, Umar bin Khattab, sebelumnya dikenal sebagai sosok terdepan dalam memusuhi dan memerangi Islam. Tetapi, setelah hatinya mendapat hidayah Allah, dengan nikmat keislamannya itu, ia pun menjadi orang terdepan dalam membela dan memperjuangkan Islam.

Abdullah bin Mas'ud berkata, ''Islamnya Umar adalah suatu pembebasan, hijrahnya adalah suatu kemenangan, dan kepemimpinannya adalah suatu rahmat. Sebelum Umar masuk Islam, kami tidak bisa shalat di Ka'bah. Sejak Umar masuk Islam, kami mempunyai harga diri, berdakwah dengan terang-terangan, bisa duduk di sekitar Ka'bah dalam lingkaran-lingkaran, dan kami pun bisa melakukan tawaf. Kami berlaku adil terhadap orang yang dulu memperlakukan kami dengan kasar.''

Begitulah mualaf. Mereka bukanlah sekadar berganti agama (convertion, tetapi lebih pada arti kembali kepada fitrah (reversion). Sebab, seorang mualaf pada dasarnya ia tidak berganti agama. Justru, ia kembali kepada hakikat fitrahnya, agama asalnya, yakni Islam.

Sesuai firman Allah, ''Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. Tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.'' (QS Arruum [30]: 30).

(-)

Meraih Spirit Dzulhijjah


Oleh Ahmad Rifa'i

''Tiada hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid.'' (HR Bukhari).

Dzulhijjah termasuk bulan yang diperlakukan secara khusus oleh Allah. Dia menjadikannya sebagai bulan haram. Bulan yang di dalamnya umat Islam diharamkan melakukan perang dan pertumpahan darah.

Sepuluh hari pertama Dzulhijjah merupakan waktu yang paling utama pada bulan ini. Dalam Alquran, Allah berfirman, ''Demi fajar dan malam yang sepuluh.'' (QS Alfajar 89 ayat 1-2). Ibnu Katsir menerangkan bahwa yang dimaksud malam sepuluh adalah sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Sumpah Allah atas sepuluh hari pertama bulan ini menunjukkan kemuliaan hari-hari tersebut.

Kemuliaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diperkuat pula oleh perkataan Rasulullah. Rasulullah bersabda, ''Tiada hari-hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini.'' (HR Bukhari). Sebagian ulama bahkan menyejajarkannya dengan sepuluh terakhir bulan Ramadhan.

Secara umum, di hari-hari awal bulan Dzulhijjah, kita diperintahkan untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita. Sebab, ketaatan dan ibadah yang dilakukan pada waktu yang agung akan memiliki nilai lebih di sisi-Nya.

Setiap Muslim dianjurkan agar berangkat lebih awal menuju shalat jamaah dan memperbanyak melaksanakan shalat sunah. Di samping itu, pada sepuluh hari pertama bulan ini, kita juga sangat dianjurkan memperbanyak mengucapkan tahlil, takbir, dan tahmid dengan khusuk.

Ibadah lain yang juga sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan ini adalah melaksanakan puasa. Imam Nawawi berkata tentang puasa sepuluh hari pertama pada bulan ini, ''Sesungguhnya, ia (puasa) sangat dianjurkan.''

Yang lebih hebat lagi dan patut menjadi motivasi bagi kita semua adalah puasa Arafah. Pada saat jamaah haji sedang melaksanakan wukuf, kita (yang tidak sedang melaksanakan haji) diperintahkan berpuasa. Rasulullah SAW bersabda, ''Puasa Arafah menjadi jaminan Allah untuk menghapus (dosa-dosa hamba) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.'' (HR Muslim).

Ketika semangat beribadah yang kita himpun pada bulan Ramadhan lalu sudah mulai menipis, Allah menyajikan bulan Dzulhijjah sebagai momen untuk menyegarkan semangat kita kembali. Semoga kita termasuk orang yang berhasil meraih spirit Dzulhijjah. Amin.

(-)

Kurban


Oleh Oma Rahmad Rasyid

''Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.'' (QS Alhajj [22]: 37)

Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS adalah dua sosok pilihan yang patut diteladani bagi manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keduanya berhasil lolos dan lulus dari proses penyeleksian yang begitu panjang dan berat dengan mengorbankan sesuatu yang sangat berharga, yang tidak lain adalah nyawa.

Dari keduanya, kemudian kita mengenal peristiwa kurban. Peristiwa bersejarah yang sangat fenomenal yang memiliki nilai spiritual tinggi, yang rasanya tidak akan mampu dilakukan oleh manusia manapun di abad ini.

Begitu dahsyatnya peristiwa itu, beberapa sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Ya Rasulullah, apa itu kurban?'' Rasulullah menjawab, ''Itu sunah bapakmu Ibrahim.''

Lalu sahabat bertanya lagi, ''Apa manfaat dari kurban ini?'' Rasulullah menjawab, ''Setiap dari bulu-bulu hewan yang dikurban dihitung menjadi nilai kebaikan.'' (HR Iman Ahmad dan Ibnu Majah dari Zaid bin Arqom).

Sungguh tinggi pahala yang akan Allah SWT berikan kepada mereka yang berkurban. Rasulullah SAW selalu berkurban, bahkan acap kali berkurban dengan dua kambing. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk kaum Muslimin.

Dari apa yang selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW ini, ada ulama yang mewajibkan melaksanakan kurban bagi mereka yang mampu. Adapun dalil yang diambil adalah Surat Alkautsar [108] ayat 2, ''Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.''

Namun demikian, jumhur ulama berpendapat, melaksanakan kurban adalah sunah muaqqadah, sunah yang mendekati wajib. Momentum Idul Adha ini dapat dijadikan ajang untuk membuktikan rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama, terutama kepada para fakir miskin yang memang mengharapkan uluran tangan kita.

Selain itu, momentum ini menjadi sarana berlatih bagi kita semua untuk terbiasa berkurban bagi orang lain, termasuk di dalamnya berkurban demi kepentingan bangsa dan Tanah Air di tengah krisis.

Dan, yang terpenting, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT, momentum ini juga merupakan kesempatan yang tepat untuk menunjukkan jati dirinya sebagai orang beriman yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kapan lagi kalau tidak sekarang.