Selasa, 08 Juli 2008

Z A K A T

Zakat PDF Cetak E-mail

Selasa, 08 Juli 2008

Sebuah Konsepsi Pengentasan Kemiskinan

Oleh : Asrorun Niam Sholeh

Islam merupakan agama yang mendorong umatnya untuk hidup dinamis dan kreatif sehingga mampu melakukan yang terbaik dalam kehidupan bermasyarakat. Di antara lain Islam adalah konsep pengentasan kemiskinan yang berbentuk zakat. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas ra bahwasannya orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka dan Allah Swt telah mengampuni mereka, yaitu Abu Lubabah dan kelompoknya, mereka datang kepada Nabi Saw dengan membawa seluruh harta mereka seraya berkata: “Wahai Rasulullah Saw, ini aku serahkan seluruh harta kami yang telah menyebabkan kami tidak taat kepadamu. Sedekahkanlah ia untuk kami dan mintakanlah ampunan untuk kami”, mendengar hal ini Rasulullah menjawab: “saya sama sekali tidak diperintahkan untuk mengambil harta kalian barang sedikitpun”, lantas Allah Swt menurunkan ayat “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka....” (QS. At-Taubah: 103). Kemudian Rasulullah Saw mengambil sepertiga dari harta mereka. Ketidaktaatan itu muncul dari sekelompok kaum muslimin yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Karena itu mereka menyesal dan mengakui sebab utama ketidaktaatan tersebut adalah kecintaan mereka terhadap harta. Maka mendermakan harta mereka menunjukkan kesungguhan mereka dalam bertobat.

Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk mengambil harta mereka dalam mensucikan dan membersihkan jiwa mereka melalui harta tersebut. Hasan Al-bashri menyatakan bahwa harta yang diambil tersebut untuk kepentingan kafarat atas pelanggaran yang telah dilakukan, yang dengan demikian ayat tersebut mengandung pengertian khusus sesuai konteks turunnya ayat tersebut. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Su’ud dalam tafsirnya. Dari pendapat ini, kemudian muncul pendapat bahwa apabila ada orang yang hendak menafkahkan keseluruhan hartanya, maka cukup menafkahkan sepertiganya saja. Sementara itu, mayoritas fuqaha menyatakan bahwa hal itu sebagai zakat fardhu. Pendapat ini dari Juwaibir dari Ibn Abbas, yang juga pendapat Imam Ikrimah.

Komitmen Islam terhadap pengentasan kemiskinan berlanjut pada saat pemerintahan Abu Bakar. Sepeninggal Nabi saw, Abu Bakar memerangi orang yang menolak membayar zakat, sebagaimana mereka telah membayarkannya pada Nabi saw. Islam mewajibkan pemeluknya untuk membayar zakat, bahkan dengan jalan “kekuasaan” yang mempunyai daya paksa. Seorang penguasa mempunyai hak untuk mengambil harta zakat dari orang-orang yang telah berkewajiban. Allah swt dalam firmannya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka....” (QS. At-Taubah: 103). “Hukum asal perintah yang mutlaq menunjukkan arti wajib, kecuali ada dalil lain yang mengubahnya”, demikian kaedah ushul fiqh. Ditambah lagi dengan adanya ketetapan bagian Amil yang merupakan orang yang bekerja untuk mengumpulkan harta zakat.

Urgensi zakat dalam Islam dapat dilihat dari posisi zakat sebagai salah satu pilar agama, di samping syahadat, shalat, puasa, dan ibadah haji. Penyebutan terminologi zakat sebagai sebuah ajaran inti hampir selalu bergandengan dengan perintah shalat. Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya posisi zakat sebagai penyangga tegaknya agama. Shalat sebagai pilar dan rukun Islam kedua, berfungsi sebagai simbol ketaatan yang bersifat vertikal, berdimensi ilahiyyah (Ketuhanan); yang mempertegas hubungan seorang hamba dengan Tuhan (Hablum minallah). Sementara itu, zakat sebagai pilar dan rukun Islam ketiga, merupakan simbol ketaatan yang bersifat horizontal, berdimensi Insaniyyah (kemanusiaan); yang mempertegas hubungan seorang hamba dengan lingkungan masyarakatnya, sesama manusia (hablum minannas).

Ayat Al-Quran yang secara spesifik membahas tentang tema zakat, setidaknya ada 96 buah, baik menggunakan redaksi shadaqah, infaq, zakat, maupun yang lainnya. Sedang yang membahas tentang tema infaq dan sedekah sebanyak 43 ayat. Kelompok ayat-ayat pertama menegaskan akan hukum wajib, meski menggunakan redaksi infaq dan juga shadaqah, sementara kelompok ayat kedua menegaskan hukum sunnah. Agar tercipta alur yang sistematik dan mudah dicerna, dalam makalah ini, pembahasan dibagi menjadi dua bagian; pembahasan tentang ayat-ayat zakat, yang terdiri dari dua ayat unduk; dan pembahasan tentang ayat-ayat infaq/shadaqah, yang terdiri dari empat ayat induk yang serangkai. Ayat-ayat yang mempunyai keterkaitan dengan keduanya akan disertakan sebagai ayat pendukung.

Apakah Zakat itu?

Surat At-Taubah: 60 menegaskan “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Beberapa kata kunci dalam ayat di atas yang perlu memperoleh penjabaran pengertian di antaranya adalah:

Al-Fuqaraa’

Jamak dari kata faqir, yang berarti orang yang tidak mempunyai harta kekayaan, dan juga tidak mempunyai pekerjaan yang mampu memenuhi hajat hidupnya.

Al-Masaakiin

Jamak dari miskin, yang berarti orang yang mempunyai harta ataupun pekerjaan; namun belum dapat mencukupi kebutuhannya.

Al-‘Aamiliina ‘Alaihaa

Orang atau lembaga yang melakukan pengumpulan harta zakat.

Al-Muallafati Quluubuhum

Orang yang baru memeluk agama Islam, dengan memberinya zakat diharapkan dapat semakin memantapkan keimanannya. Atau orang yang terpandang di lingkungannya, dengan harapan pemberian tersebut dapat menarik koleganya untuk masuk Islam; atau agar dia sendiri masuk Islam. Untuk itu, pemberian kepadanya didasarkan pada beberapa motif; agar masuk Islam, agar menguatkan keislamannya, agar koleganya masuk Islam, dan juga agar membantu melindungi kaum muslimin. Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa Nabi Saw pernah membagikan zakat pada Abu Sofyan bin Harb, Zabarqan bin Badr, dan juga ‘Ady bin Hatim.

Fii al-Riqaab

Dalam rangka memerdekakan budak, dan menghapus perbudakan, dengan cara menolong orang yang hendak memerdekakan budak, atau budak yang ingin menebus dirinya, dengan bantuan harta zakat.

Al-Ghaarimiin

Orang yang terbelit hutang, dan tidak mampu keluar dari jeratannya, dengan syarat hutang tersebut tidak untuk kepentingan maksiat, atau yang orang berhutang untuk kepentingan sosial, meskipun dia kaya.

Fii Sabiilillah

Orang yang sedang berjihad di jalan Allah, baik untuk keperluan logistik ataupun lainnya.

Ibnu al-Sabiil

Musafir yang kehabisan bekal.

Pada ayat sebelumnya, kaum munafiq mencela Nabi Saw tentang pembagian zakat, jika mereka diberi, maka merasa senang, namun apabila tidak diberi, mereka marah-marah. Ayat ini lantas menjelaskan secara tegas orang-orang yang berhak menerima zakat. Dengan demikian, tidak ada lagi polemik tentang siapa yang berhak menerima dan siapa yang tidak; dan dengan sendirinya merupakan pukulan telak bagi kaum munafik yang menuntut pembagian zakat. Ayat tentang pembagian zakat ini disebutkan di tengah pembahasan ayat-ayat munafiq sebagai peringatan bahwa mereka bukanlah golongan yang berhak menerima zakat, sebagai hukuman atas ketamakan mereka.

Ayat di atas menerangkan golongan yang berhak mendapatkan zakat, yakni sejumlah delapan golongan (ashnaf). Penggunaan “Innamaa” pada ayat di atas menjelaskan bahwa golongan yang berhak menerima zakat terbatas pada delapan golongan tersebut, manfikan yang lainnya. Pengertian bahwa kata “Al-Shadaqaatu” menujukkan arti zakat wajib diperoleh dari penggunaan “Al” yang mempunyai pertautan dengan ayat sebelumnya, tentang celaan kaum munafiqin kepada Nabi Saw perihal pembagian zakat. Di samping itu, Allah Swt telah menetapkan hak kepemilikan bagi penerima zakat, dengan menggunakan lam al-tamlik. Sedekah sunnah, tidak terbatas kepada delapan golongan yang disebutkan ayat.

Kedelapan golongan (ashnaf) yang memperoleh hak distribusi harta zakat, sebagaimana dirinci oleh ayat di atas adalah fakir dan miskin. Dua golongan ini paling berhak menerima zakat. Islam pun sangat memperhatikan kedua kelompok tersebut. Tidak hanya pada zakat, tetapi juga nampak pada berbagai kafarat yang ditetapkan Islam, seperti denda bagi orang yang bersebadan di saat puasa ramadhan, kafarat sumpah, pembunuhan tanpa sengaja, dan sebagainya.

Kesemuanya ini menunjukkan adanya perhatian serius Islam terhadap upaya pengentasan kemiskinan yang merupakan fenomena umum dalam setiap masyarakat. Keseriusan tersebut bisa dipahami mengingat kemiskinan merupakan faktor utama terjadinya disharmoni sosial. Dalam rangka keinginan mencipatakan kesejahteraan sosial, dan meminimalisir potensi disharmoni, maka Allah Swt memprioritaskan fakir dan miskin untuk mendapatkan harta zakat.

Ketiga, amil (pengelola harta zakat). Amil zakat memperoleh bagian dari perolehan zakat sebagai imbalan atas hasil pekerjaannya, untuk itu ia tetap memperoleh hak bagian sekalipun ia tergolong orang yang mampu. Amil memperoleh imbalan atas pekerjaan yang mubah. Analogi dari upah amil ini adalah pekerjaan menjadi Imam Rawatib, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qurthuby. Dalam hal pendayagunaan harta zakat, agar sesuai dengan tujuan utama disyari’atkannya zakat (maqashid syari’ah), maka poisi dan peran amil sangat vital dan dominan, di man ia dituntut untuk memfungsikan harta zakat sebagai “jalan keluar” (problem solver) bagi permasalahan ekonomi masyarakat.

Dalam implementasinya, amil bisa terdiri dari sekumpulan individu yang terorganisir secara rapi, profesional, jujur dan transparan dan menjalankan fungsinya sebagai fasilitator sekaligus mediator antara muzakki (orang yang berkewajiban membayar zakat) dan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Di samping itu, amil juga bisa berasal dari penguasa (pemerintah) yang dibentuk secara khusus menangani permasalahan eksplorasi dan distribusi zakat.

Untuk menegakkan zakat sebagai instrumen ekonomi umat, maka Islam memberikan kewenangan kepada ulil amri (penguasa) untuk mengambil – bahkan secara paksa, harta zakat dari orang kaya, yang berkewajiban mengeluarkannya. Ketika harta zakat telah terkumpul, penguasa, selaku amil (panitia zakat) berhak merumuskan tata cara distribusi, dengan sasaran menghilangkan kesenjangan sosial. Dengan demikian, tata cara distribusi tidak harus untuk kepentingan konsumtif, lebih dari itu seorang amil ditantang untuk menyediakan “kail” kepada kaum yang lemah, bukan “ikannya”.

Dalam hal ini, seorang amil dituntut untuk bertindak sebagai dokter, yang mempunyai tugas menyembuhkan penyakit masyarakat, yakni masalah kesenjangan ekonomi. Untuk itu, perlu ada diagnosis dan analisa sebelum memutuskan untuk memberikan “obat”. Di sinilah relevansi dan signifikansi Lembaga ZIS dalam rangka mengorganisir dan memobilisir zakat untuk kepentingan masyarakat.

Keempat, “Al-Muallafati qulubuhum” (orang yang tertaklukkan hatinya), yang mencakup dua golongan, muslim dan non-muslim. Kepada yang muslim, diharapkan akan semakin kuat imannya. Sedang kepada non-muslim diharapkan akan tertarik masuk Islam. Pendapat ini merupakan madzhab malikiyah dan hanabilah, dengan mendasarkan perbuatan Nabi Saw yang membagikannya kepada kaum muslimin dan musyrikin.

Golongan Hanafiyah melihat bahwa bagian “Al-Muallafati qulubuhum” tidak ada lagi seiring dengan tersebarnya ajaran Islam ke seluruh pelosok. Hilangnya hak bagian mereka didasarkan pada:

“ Tiadanya hukum karena tidak adanya ‘illat”

Sedangkan jumhur fuqaha melihat bahwa bagian mereka tetap ada, dan ditunaikan ketika dianggap perlu. Tindakan yang dilakukan oleh Umar dan Utsman yang tidak memberikan bagian mereka, semata karena pertimbangan kemaslahatan, bukan karena gugurnya bagian mereka.

Dalam konteks sekarang, bagian golongan ini menemukan relevansinya di tengah gencarnya gerakan “pemurtadan”, melalui jalan ekonomi. Dengan melalui pintu ini, umat Islam dapat merasa terproteksi secara ekonomi sehingga tertutup kemungkinan peralihan agama dengan alasan ekonomi. Dan bahkan lebih dari itu, dengan sarana pemberian harta zakat dapat menarik orang di luar Islam untuk memeluk agama Islam.

Kelima, untuk memerdekakan budak. Tentang pemerdekaan budak, mengingat sudah tidak adanya perbudakan, beberapa ulama memberikan kemungkinan peruntukkan membebaskan tawanan perang, seperti pendapat Ibn Hubaib al-Maliki. Lebih maju lagi, Mahmud Syaltut memaknai “riqab” di sini lebih luas, mencakup keterkungkungan masyarakat muslim dalam berpikir dan berkreasi, dalam memiliki harta benda, dan juga dalam mengatur pemerintahan.

“Riqab” dalam pengertian klasik adalah keterkungkungan yang bersifat individual dan personal, sementara keterkungkungan masyarakat yang bersifat massal lebih layak untuk diselamatkan. Penafsiran yang demikian menemukan basis keabsahannya dengan penggunaan kata “fii” bukan kata “Li” yang berarti kepemilikian.

Keenam, orang yang berhutang. Tentang status gharim, mencakup hutang untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk kepentingan di luar dirinya. Orang yang terbelit hutang untuk kepentingan dirinya dimungkinkan memperoleh zakat untuk mengeluarkannya dari belenggu hutang tersebut, selama hutang yang dilakukan dalam koridor ketaatan. Sementara, orang yang berhutang untuk kepentingan di luar dirinya, semisal membantu orang lain keluar dari kesulitan ekonomi, atau menebus orang muslim yang menjadi tawanan musuh, maka ia berhak memperoleh bagian zakat, sekalipun pada prinsipnya ia termasuk orang yang mampu.

Terminologi gharim di sini juga tidak terbatas pada pengertian individu, namun juga berlaku apabila yang berhutang adalah institusi, bukan orang per orang. Terlebih apabila hutang tersebut untuk kepentingan umum (maslahah ‘ammah). Dalam konteks yang lebih besar, hal ini juga termasuk hutang yang dilakukan negara, dengan syarat apabila memang negara benar-benar pailit, dan tidak mempunyai potensi untuk membayar hutangnya tersebut.

Ketujuh, untuk kepentingan berjuang di jalan Allah. Jumhur fuqaha memaknai sabilillah dengan tentara yang melakukan jihad tanpa adanya gaji yang tetap, untuk kepentingan logistik di medan perang. Sementara, tentara yang memperoleh gaji tetap tidak memperoleh hak. Sebagian ulama Hanafiyah menafsirkan sabilillah dengan kepentingan menuntut ilmu, sedang al-Kasany lebih jauh menafsirkannya dengan segala bentuk yang mendekatkan diri kepada Allah Swt, seperti mambangun bendungan air, benteng, dan juga menara masjid.

“Sabilillah” mempunyai pengertian yang sangat umum, yang mencakup segala hal yang menyangkut kepentingan umum. “Kepemilikannya adalah oleh Allah Swt, sedang pemanfaatannya adalah oleh manusia.” Demikian Syaltut mengungkapkan.

Dengan demikian, cakupan pengertian “sabilillah” menjadi sangat luas, yang meliputi kebutuhan masyarakat umum, baik material maupun ruhani. Dan implementasinya sangat kontekstual dengan ijtihad pengelola.

Kedelapan, Ibnu Sabil, yaitu setiap orang yang bepergian, tidak untuk kepentingan maksiat dan kehabisan bekal, sementara ia membutuhkan harta untuk kepentingan urusannya dan bekal untuk pulang ke kampung halamannya. Ibnu Sabil diberikan bagian harta zakat sekedar untuk kepentingan mendasarnya, yakni pemenuhan tujuan perjalanan dan ongkos untuk pulang ke kampung halamannya.

Pemerataan Distribusi Zakat

Para ulama berselisih pendapat dalam mekanisme distribusi zakat terhadap delapan golongan yang telah disebutkan oleh ayat di atas. Imam Syafi’i mengharuskan distribusi secara merata kepada kedelapan golongan tersebut, baik zakat fitrah maupun zakat harta. Hal ini disebabkan adanya pengkaitan kepemilikan pada delapan golongan sekaligus, ditambah penggunaan kata penghubung (و ) “wawu”, menunjukkan kesetaraan. Dan bagi tiap golongan, harus didistribusikan minimal kepada tiga orang.

Imam Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad membolehkan distribusi kepada satu golongan saja, mengingat ayat tersebut berfungsi pilihan. Hal ini diperkuat dengan firman Allah Swt: “Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu” (QS. Al-Baqarah: 271).

Dari teks ayat di atas, seiring dengan kemutlaqannya, maka distribusi zakat diperuntukkan pada setiap orang yang masuk kategori fuqara dan masakin tanpa ada ikatan keimanan. Akan tetapi, fuqaha telah memberikan batasan kriteria keimanan bagi penerima zakat, dengan mendasarkannya pada hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra bahwa Nabi Saw bersabda kepada Mu’adz ketika mengutusnya ke Yaman:

أعمالهم أن عليهم صدقة تؤخذ من أغنياءهم فترد على فقراءهم

Namun Abu Hanifah membolehkan pembagian zakat fitrah kepada orang non muslim, mengingat hadis di atas khusu pada masalah zakat mal.

Kesimpulan

Tujuan dan idealisasi dari ibadah zakat tercermin dalam komitmen Islam dalam memerangi kesenjangan sosial dan secara konsisten memperjuangkan terciptanya keseimbangan ekonomi antara si kaya dengan si miskin, antara kaum berada dengan kaum papa. Upaya membangun keseimbangan antara kaya dan miskin, serta orang yang membutuhkan bantuan, termanifestasi dalam dua bentuk. Pertama, bentuk tang bersifat kewajiban yang bernuansa “top down”, atau bisa dikatakan struktural, yang dengan atau tanpa kesadaran, golongan yang telah memenuhi persyaratan tertentu harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk mustahiq.

Kedua, bentuk yang bersifat sukarela (tathawwu’), yang menekankan adanya kesadaran akan pentingnya solidaritas sosial. Keduanya disyariatkan oleh Islam dalam rangka membangun tatanan sosial masyarakat yang harmonis.

Zakat sebagai ibadah mempunyai dimensi sosial kemasyarakatan, baik bagi pembayarnya, maupun bagi penerimanya, di antaranya zakat sebagai sarana untuk menghilangkan sifat konsumerisme dan kapitalisme. Zakat dapat menumbuhkan kepekaan sosial sekaligus sarana introspeksi dan pendidikan jiwa agar bisa berbagi dengan yang lain, berbuat baik antar sesama dengan membantu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Zakat juga dapat mendorong masyarakat untuk menciptakan tatanan sosial yang harmonis, dengan adanya cinta kasih antar sesama, antara si kaya dan yang tak berpunya.

Zakat bisa melepaskan manusia dari ketergantungan terhadap harta. Zakat menjadikan harta mempunyai manfaat yang lebih abadi (pahala), mewujudkan kesejahteraan sosial, sebagaimana iman akan mewujudkan kesejahteraan ruhani, dan shalat akan mewujudkan kesejahteraan badani.

Demikian pembahasan masalah zakat, semoga memberikan kontribusi positif bagi implementasi hukum Islam tentang masalah ini di tengah masyarakat, dan memberikan kemanfaatan bagi umat Islam secara keseluruhan. Kekurangan dalam makalah ini tidak dapat terhindarkan mengingat ketidaksempurnaan penulis, untuk itu koreksi dan kritik senantiasa diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini. (zar)

Wallahu A’lam bisshawab

Bunga Bank = Riba Yang Diharamkan


PDF Cetak E-mail

Senin, 07 Juli 2008

Assalamualaikum wr. wb. Pengasuh kontak tanya jawab syariah yang dimuliakan Allah, saya mohon penjelasan lebih lanjut tentang riba dan bunga bank, apakah bunga bank hukumnya sama dengan riba atau tidak? Bagaimana caranya bermuamalah yang sesuai dengan syariah Islam, karena selama ini, saya pribadi, sudah sering melakukan transaksi dengan lembaga keuangan konvensional? Mohon penjelasannya! Wassalamualaikum wr. wb

(Ibu Mutmainnah, Mojokerto)

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Terima kasih banyak atas pertanyaan Ibu Mutmainnah kepada pengasuh kontak tanya jawab syariah PKES. Perlu kami jelaskan terlebih dahulu mengenai status hukumya riba dalam Islam. Sesuai dengan QS al-Baqarah [2]: 275, riba hukumnya haram. Dalam hal ini, tidak ada penjelasan lain yang membolehkan praktek riba dalam setiap aktifitas kegiatan ekonomi. Sudah tidak ada tawar menawar lagi tentang status keharaman riba. Sebagai solusinya, masih mengacu QS. Al-Baqarah [2]: 275, umat Islam diperkenankan untuk memperbanyak praktek jual-beli (ba’i) dalam kegiatan ekonomi.

Riba difahami sebagai ziyadah (tambahan), tumbuh dan membesar. Tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Ijma ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kabair). (lihat antara lain: a-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [tt. Dar al-Fikr, t.th], juz 9, h. 391). An-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama madzhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh Sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al-Qur’an, baik riba naqd maupun riba nasi’ah. Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguh-nya hanya mencakup riba nasa’ii yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan atas harta (piutang), disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang diantara mereka, apabila jatuh jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayaran-nya.

Sekarang bagaimana dengan bunga bank? Apakah hukumnya sama dengan riba atau tidak? Bunga bank merupakan hal yang baru, termasuk masalah kontemporer yang pada zaman awal Islam, zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Ryasidin, belum dikenal adanya bunga bank. Maka dari itu perlu adanya tanggapan hukum Islam terhadap status hukum bunga bank.

Pada awal tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang bunga bank haram. Dalam fatwa ini dijelaskan bahwa bunga (interest atau faidah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transkasi pinjaman uang (qard) yang diperhitungkan dan pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil poko tersebut, berdasrkan tempo wkatu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.

Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.

Adapun keinginan Ibu Mutmainnah untuk melakukan transaksi sesuai dengan syariah Islam merupakan suatu kewajiban bagi kita yang mengaku sebagai orang Islam (muslim atau muslimah). Saat ini sudah banyak lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan syariah Islam, baik dalam bentuk perbankan maupun non perbankan, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, koperasi syariah atau reksadana syariah. Ibu Mutmainnah dapat menghubungi lembaga keuangan syariah terdekat dan dapat memperoleh informasi tentang produk yang sesuai.

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi Ibu Mutmainnah. Wallahu ‘alam bis shawab

Ali Bin Abi Thalib dan Hukum


PDF Cetak E-mail

Selasa, 08 Juli 2008

Bagi Anda yang merasa frustasi dengan keadaan hukum saat ini dan tingkah polah pemimpin dan penegak hukum, kisah yang terjadi belasan abad yang lalu ini menarik untuk disimak.

Alkisah pada masa Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, ia kehilangan baju dir’a (baju besi) miliknya. Tidak beberapa lama, ia mendapati baju besinya ada pada seorang Yahudi. Namun, ketika ditanya Ali, orang Yahudi itu bersikukuh bahwa baju besi itu adalah miliknya. Akhirnya, keduanya sepakat untuk membawa perkara itu ke hadapan hakim.

Setelah mendengar duduk perkaranya, hakim yang bernama Syuraih bertanya kepada Ali, apakah ia mempunyai bukti-bukti yang mendukung pernyataannya. Ali pun menghadirkan dua saksi, yaitu pembantunya, Qanbar dan anaknya, Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw.

Sang hakim menerima kesaksian pembantu Ali, namun menolak kesaksian Hasan, karena kesaksian seorang anak kepada ayahnya tidak dapat diterima di hadapan hukum. Ali pun berkata pada hakim Syuraih, ”Tetapi apakah Anda tidak pernah mendengar Rasulullah yang menyatakan bahwa Hasan dan Husein adalah pemuda penghuni surga?.” Syuraih membenarkan pernyataan Ali itu namun tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak bisa menerima kesaksian Hasan.

Karena hanya ada satu orang saksi, akhirnya hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut adalah milik si Yahudi. Ali, sang Amirul Mukminin, dikalahkan dalam persidangan tersebut. Dengan besar hati, Ali menyatakan menerima keputusan hakim.

Melihat seorang pemimpin jazirah Islam dikalahkan di pengadilan padahal lawannya seorang non muslim dan sang pemimpin menerima putusan itu, Yahudi itupun serta merta mengakui bahwa baju besi tersebut adalah benar milik Ali dan ia menyatakan bahwa sebuah agama yang menyuruh hal tersebut adalah pastilah benar. Orang Yahudi itu pun mengucapkan kalimat syahadat dan menyatakan masuk Islam. Menyaksikan hal itu, Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepada si Yahudi disertai dengan hadiah lainnya. (zar)

Sumber: Majalah Alhamdulillah it’s friday

Selasa, 01 Juli 2008

Bahagia dan Mulia

Oleh : Rita Zahara Nurliyah

Pada suatu hari serombongan fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah SAW, ''Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala hingga tingkat yang paling tinggi.''

Nabi SAW bertanya, ''Mengapa engkau berkata demikian?'' Mereka menjawab, "Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka pun puasa sebagaimana kami puasa, mereka bersedekah sedangkan kami tidak bersedekah, dan mereka memerdekakan budak sedangkan kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.''

Setelah mendengar keluhan orang fakir tadi, Rasulullah lalu bersabda, ''Sukakah aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorang pun yang lebih utama dari kamu, kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?'' Dengan antusias mereka menjawab, ''Baiklah, ya Rasulullah.'' Kemudian Nabi SAW bersabda, ''Bacalah subhanallah, Allahu akbar, dan alhamdulillah setiap selesai shalat masing-masing 33 kali.''

Setelah menerima wasiat Rasulullah, mereka pun pulang ke rumah masing-masing untuk mengamalkannya. Tidak lama berselang, para fakir miskin itu kembali mengeluh kepada Rasulullah SAW, ''Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya mendengar perbuatan kami lalu mereka berbuat sebagaimana perbuatan kami.''

Maka Nabi SAW bersabda, ''Karunia Allah SWT diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki.'' (HR Bukhari). Perilaku si miskin dan si kaya yang kita dapati dalam hadis di atas sama-sama mulia. Keduanya memilik sifat yang begitu mulia, saling berlomba dalam setiap kebaikan.

Si kaya yang beruntung dengan dikaruniai limpahan rezeki tidak menjadikannya bak si Qorun yang pongah dan bakhil. Ia sadar betul bahwa semua itu hanyalah titipan dari Allah SWT yang mesti dipergunakan di jalan yang semata-mata hanya untuk mencari keridhaan-Nya. Kekayaan tidak menjadikannya lupa daratan, namun menyadarkannya untuk lebih bederma karena di dalamnya begitu banyak hak orang lain yang mesti ditunaikan.

Begitu pula dengan potret si miskin yang tidak mau kalah beramal, ia selalui mencari solusi untuk bersaing dengan sehat untuk mencari keunggulan dalam beribadah, sadar akan ketidakberuntungan materi tidak menjadikannya patah arang untuk memberikan pengabdian terbaik bagi Allah SWT.

Menjadi kaya atau miskin tentu membutuhkan mental untuk menerima kenyataan. Namun, yang terpenting adalah kesiapan mempersembahkan yang terbaik bagi Allah SWT setelah diberi ketentuan satu di antara keduanya. Dengan begitu, ia akan menjadi pribadi yang bahagia dan mulia.