Kamis, 29 November 2007

Bersih


Oleh : Deni Rahman


Setiap orang ingin dirinya bersih. Tapi, sedikit yang mau berusaha untuk bersih. Sehingga, banyak yang tidak menyadari bahwa ia sedang berada, melakukan, bahkan menghasilkan sesuatu yang tidak bersih. Sedikitnya Alquran dan as-sunah mengajarkan bersih dalam empat hal.

Pertama, bersih tempat. Rasulullah SAW sangat menekankan para sahabatnya agar membersihkan tempat tinggal mereka masing-masing. Tarikh menyebutkan, ketika Rasulullah di Madinah, yang membedakan para sahabat dengan orang-orang Yahudi adalah kebersihan halaman rumahnya. Jika kotor, bisa dipastikan pemilik rumah tersebut adalah orang Yahudi.

Kedua, bersih pakaian. Firman Allah SWT, ''Dan pakaianmu bersihkanlah.'' (QS Al Mudatsir [74]: 4). Rasulullah diperintahkan Allah untuk membersihkan pakaiannya sebelum beliau berdakwah. Ada sebagian ahli tafsir yang menyatakan maksud pakaian dalam ayat tersebut adalah amalan, jiwa, badan, agama, dan keluarga. Tapi, ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah pakaian yang dikenakan.

Ketiga, bersih perut. ''Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Al Mu'minun [24]: 51).

Ayat tersebut mengandung makna adanya hubungan yang erat antara makanan halal dan amal baik. Ini berarti bahwa makanan yang baik akan menghasilkan amal baik. Sebaliknya, perut yang diisi dengan makanan haram, akan berpengaruh pula pada amal yang buruk. Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya, ''Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak baginya.'' (HR Ahmad)

Keempat, bersih hati. Pentingnya menjaga kebersihan hati ini, sampai-sampai di akhirat kelak, Allah SWT tidak akan menerima kecuali orang-orang yang menghadap-Nya dengan hati yang bersih. (QS Asy-Syuara [26]: 89). Di antara bersih hati adalah jauh dari sifat takabur, riya, dengki, prasangka buruk, khianat, dan sebagainya.

Alangkah meruginya orang yang hatinya tidak bersih. Amalannya laksana gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak, di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya. (QS An-Nur [24] ayat 39-40). Wallahu a' lam bish-shawab.

Syukur Nikmat



Oleh : Tia Siti Nuratiah

Seorang ulama besar Ibrahim ibn Adham pernah mengatakan salah satu hal yang menyebabkan doa seseorang tidak dikabulkan Allah SWT adalah ia banyak memakan nikmat Allah, akan tetapi ia tidak mensyukurinya. Syukur berasal dari bahasa Arab syakara-yasykuru-syukran, yang berarti mengucapkan rasa terima kasih.

Dalam pengertian agama Islam syukur dimaknai sebagai ucapan rasa terima kasih seorang hamba kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan kepadanya. Baik nikmat dalam bentuk materi; seperti makanan, harta, dan kedudukan, maupun dalam bentuk nonmateri; seperti kesehatan, keislaman, dan keimanan.

Untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan-Nya, seseorang tidak cukup dengan hanya mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata, seperti mengucapkan alhamdulillah atau kata-kata lain yang serupa dengan itu. Rasa syukur tidak cukup hanya di lisan, tapi juga harus diwujudkan dalam bentuk sikap dan perbuatan yang mengarah pada mengingat kebesaran Allah SWT, melaksanakan segala perintah-Nya, dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Dengan mengingat kebesaran Allah, maka kita akan merasa kecil dan rendah di hadapan-Nya. Bahwa ada Zat Yang Mahakuat yang telah menentukan nasib dan takdir manusia. Dan dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya menunjukkan hanya ada satu Zat saja yang harus kita patuhi dan taati, yaitu Allah SWT.

Bagi seorang hamba yang selalu mensyukuri nikmat Allah sekecil apa pun dan seringan apa pun, Allah akan membalasnya dengan nikmat yang berlipat ganda. Hal ini sesuai dengan janji Allah di dalam surat Ibrahim (14) ayat 7, ''... sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.''

Untuk itu alangkah baiknya kita merenung sejenak. Apakah selama ini kita sudah menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah SWT, baik dalam konteks kita sebagai individu maupun sebagai warga negara yang telah dilimpahi karunia dan nikmat yang demikian berlimpah, seperti kekayaan laut, hutan, sungai, dan sebagainya. Atau, kita malah menyia-nyiakan nikmat itu semuanya? Sudahkah kita bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan? Wallahu a'lam bish-shawab.

Minggu, 25 November 2007

Bekal Haji



Oleh : Sigit Indriyono

''Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.'' (Al Baqarah [2]: 197).

Kesempatan untuk berhaji merupakan karunia dari Allah SWT yang patut disyukuri. Banyak orang yang telah mendaftarkan diri untuk beribadah haji, namun harus menunggu daftar antrean cukup panjang. Ada juga yang telah memiliki kemampuan untuk berhaji, tetapi masih belum berencana melaksanakannya. ''Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.'' (QS Ali Imran [3]: 97).

Ibadah haji harus dilakukan secara ikhlas semata-mata mencari ridha Allah SWT dan untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ibadah ini tidak didorong oleh motivasi yang lain, seperti mendapatkan sanjungan dari orang, mencari popularitas, berbangga diri atau sekadar ikutan karena tetangga, rekan kerja dan kerabat telah berhaji. ''Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah SWT.'' (QS Al-Baqarah [2]: 196).

Ayat di atas, selain berisi perintah kepada kita untuk berhaji secara ikhlas karena Allah SWT, juga perintah untuk menyempurnakannya. Untuk itu, diperlukan pemahaman manasik haji secara benar sesuai syariat. Ada dua kriteria amal yang harus diperhatikan agar diterima Allah SWT. Pertama, amal dilakukan dengan ikhlas, semata mengharap ridh-Nya. Kedua, amal dilakukan dengan benar sesuai tuntunan syariat. Dua hal di atas bersifat mutlak, harus dipenuhi keduanya. Jika hanya satu yang dipenuhi, menjadikan amal tidak berarti di sisi-Nya.

Di samping itu, kita dituntut pula mengerti makna yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji. Berbagai macam makna simbolis yang terkandung dalam pakaian ihram, thawaf mengelilingi Ka'bah, sa'i dari Bukit Shofa ke Bukit Marwah bolak-balik, wuquf di Padang Arafah, melempar jumrah harus dipelajari dan dimengerti. Dengan demikian, ibadah haji bisa dilakukan dengan penuh penghayatan secara mendalam, bukan sekadar gerak fisik ritual tanpa makna.

Dan, seperti bunyi ayat di atas, takwa adalah bekal terbaik untuk berhaji. Takwa tidak bisa didapatkan secara seketika. Memerlukan usaha yang istikamah untuk mendapatkannya. Sabar, syukur, istighfar, dan banyak berbuat kebajikan sebagai indikator takwa, merupakan kunci-kunci kenikmatan selama beribadah di Tanah Suci. Semoga menjadi haji yang mabrur.

Kamis, 22 November 2007

Haji dan Si Miskin



Pada suatu masa, Abdullah bin Mubarak berangkat haji bersama kafilah haji, ia melewati berbagai daerah hingga ayam yang mereka bawa ada yang mati. Abdullah bin Mubarak lalu menyuruh seseorang untuk melemparkannya ke tempat sampah. Setelah dilempar, tiba-tiba datanglah seorang perempuan mengambil ayam yang mati tersebut. Abdullah bin Mubarak terheran dan menanyakan alasan kenapa ia sudi mengambil bangkai tersebut.

Sang perempuan ini menceritakan bahwa mereka melakukannya dengan sangat terpaksa karena mereka tidak mendapatkan makanan sejak beberapa hari. Mendengar penjelasan perempuan ini, Abdullah bin Mubarak memberikan biaya hajinya lalu ia kembali ke kampungnya. Ia mengatakan, ''Ini lebih baik daripada haji kita tahun ini.'' (dari kitab Hilyatul Auliya). Demikianlah para ulama terdahulu, mereka sangat berusaha mencari amalan yang paling besar pahalanya dan paling dicintai Allah SWT. Bagi mereka memberi makan orang kelaparan adalah sebuah kewajiban, sedangkan melaksanakan ibadah haji yang kedua dan seterusnya adalah sunah. Sehingga, mereka mengedepankan hal yang lebih utama daripada hal yang penting.

Membantu orang miskin juga termasuk jihad di jalan Allah, betapa banyak orang-orang miskin yang tidak menerima uluran tangan kemudian masuk ke agama lain yang lebih menggiurkan dan menjanjikan. Jihad di jalan Allah ini lebih utama daripada haji setiap tahunnya. Allah menyindir hal ini dengan firman-Nya: ''Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. (QS Attaubah [9]:19-20).

Jamaah haji sebelum berangkat hendaklah melihat orang-orang di sekelilingnya, masih adakah mereka yang menderita kemiskinan di sekitarnya. Kemiskinan yang menimpa sebagian bangsa ini, tampaknya akan berkurang jika setiap jamaah haji menyantuni misalnya dua hingga lima orang, jika jumlah jamaah haji 200 ribu orang maka penduduk miskin akan berkurang minimal 400 ribu jiwa, sebuah jumlah yang sangat besar. Dengan ini jamaah haji akan mendapat dua pahala sekaligus yaitu pahala haji dan pahala menolong sesama.

Rabu, 21 November 2007

Energi Iman



Oleh : Adhan Sanusi Lc

''Tidaklah kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat, kecuali seperti saat salah seorang di antara kamu mencelupkan jari telunjuknya di samudra lautan, lalu lihatlah yang tersisa di jari telunjuknya itu (itulah dunia).'' (HR Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Keimanan senantiasa naik turun. Saat iman naik, saat itu kita merasakan betapa lezatnya iman itu. Hidup terasa tenang, dada lapang, mata terasa sejuk, pikiran jernih, kata-kata manis, penuh tawakal, ibadah terasa ringan dan nikmat, kadang air mata ikut menetes untuk ikut merasakan kenikmatannya. Namun, iman bisa turun kalau penjagaannya tidak optimal, karena gerusan kemaksiatan setiap hari pasti dijumpai karena kita tidak hidup sendiri. Tarik-menarik antara keimanan dan kemaksiatan terus akan terjadi.

Kita juga akan merasakan bagaimana kondisi jiwa ketika iman dalam kondisi turun (futur). Hidup penuh dengan ketegangan, dada terasa sempit, penuh dengki, mata liar ke sana-kemari, pikiran kotor, kata-kata tidak terkontrol, ibadah terasa berat, penuh kekhawatiran terhadap dunia, takut kehilangan rezeki, dan sifat-sifat buruk lainnya.

Semakin banyak sifat dan perbuatan buruk dilakukan semakin deras luncuran iman itu menuju titik terendah. Sebaliknya semakin tinggi kuantitas dan kualitas ketaatan semakin cepat iman itu menanjak ke puncak.

Sebagaimana dijelaskan para ulama, iman naik karena ketaatan dan iman turun karena kemaksiatan. Pertanyaannya bagaimana membangunkan iman ketika sedang terbujur lemah? Ada tiga hal yang bisa kita lakukan, pertama, pakar motivasi mengatakan tips mendobrak kemalasan dan ketakutan dengan cara melakukan sebaliknya. Jika dia malas shalat segera bangun shalat maka rasa malas itu akan berangsur-angsur hilang.

Kedua, menyadarkan diri kita bahwa kita diciptakan untuk akhirat, bukan dunia. Maka, segala aktivitas dunia jangan sampai mengalahkan tujuan akhirat kita.

Ketiga, menyadarkan diri kita kehidupan dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan akhirat. Hadis di atas setidaknya menggambarkan tentang perbedaan keduanya yaitu antara setetes air kehidupan dunia dan luasnya samudera kehidupan akhirat. Sungguh sebuah perumpamaan yang sangat jelas dipandang mata.

Maka, merugilah orang-orang yang hanya mengejar dunia dan melupakan akhirat. Namun, bila kita senantiasa menjadikan akhirat sebagai motivasi berkarya, maka dunia pun sudah pasti dalam 'genggaman' kita. Wallahu a'lam.

Hakikat Tauhid



Oleh : Yusuf Burhanudin

Maraknya aliran sesat dewasa ini hendaknya membuat kita waspada untuk senantiasa membentengi diri dengan pemahaman akidah tauhid yang benar. Menurut para ulama, inti tauhid tidak terlepas dari dua dimensi keimanan; meyakini tiada tuhan selain Allah SWT dan mengikrarkan diri bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Keyakinan terhadap keesaan Allah sesungguhnya bukan sekadar mengakui Allah sebagai pencipta langit, bumi, dan seisinya. Tauhid dalam pengertian ini sesungguhnya diakui pula oleh kaum jahiliyah. Tergambar dalam firman-Nya, ''Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, 'Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?' Tentu mereka akan menjawab, 'Allah.' Maka, betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar),'' (QS Al-Ankabut [29]: 61).

Pengakuan terhadap keesaan Allah berikutnya mesti diiringi ketulusan untuk dibimbing sunah Rasulullah SAW, sang pembawa risalah. Firman-Nya, ''Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya guna (menjalankan) agama yang lurus, supaya mendirikan shalat dan menunaikan zakat; yang demikian itulah agama lurus.'' (QS Albayyinah [98]: 5).

Menurut Syekh Dr Shalih bin Fauzan, konsekuensi mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan Allah SWT yaitu dengan menaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang dilarangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunahnya, meninggalkan bid'ah (kebalikan sunah), dan mendahulukan sabdanya dari seluruh pendapat manusia.

Mengesampingkan peran Rasulullah SAW saat memahami risalah Islam dalam kitab suci Alquran merupakan ketimpangan mendasar yang tidak bisa ditoleransi. Terlebih banyak ayat Alquran membutuhkan rincian dan pembatasan baik menyangkut lafadz dan kandungan maknanya. Inilah salah satu misi penting Rasulullah SAW diutus ke bumi, ''Dan Kami turunkan kepadamu Alquran agar engkau jelaskan kepada manusia apa yang turun kepada mereka.'' (QS Annahl [16]: 44).

Para ulama salafussalih telah menggariskan ketegasan benderang, ''Sesungguhnya firman paling benar adalah Kitabullah, dan petunjuk terbaik petunjuk Rasulullah. Perkara paling jelek ialah yang diada-adakan, semua yang diada-adakan adalah bid'ah, semua bid'ah sesat, dan semua yang sesat di neraka.''

Ketegasan di atas bukan penyederhanaan, melainkan betapa akidah Islam tidak mengenal relativitas kebenaran karena telah dibatasi penjelasan otoritatif Rasulullah SAW. Tanpa batasan, kebenaran hanya nilai gamang tanpa akhir. Semoga kita teguh dalam keimanan lurus sampai kelak ajal tiba. Amin.

Nasihat Haji



Oleh : Aji Setiawan

Musim haji telah tiba. Jutaan orang bersiap melaksanakan ibadah itu dengan satu niat, yakni ingin memperoleh haji mabrur. Balasan bagi orang yang hajinya mabrur sangat jelas, yaitu surga.

Ganjaran yang begitu besar ini tentunya mempunyai konsekuensi dalam pelaksanaannya. Haji tidak hanya ritual rohani, melainkan juga melibatkan fisik seseorang. Beberapa ibadahnya merupakan gabungan dari olah fisik dan rohani. Tidak salah kalau kemudian ada yang mengatakan, haji adalah suatu ibadah yang 'berat' bagi seorang Muslim. Sehingga, sayang bila orang yang berhaji tidak bisa menjadi haji mabrur.

Haji termasuk ritual ibadah yang istimewa. Tidak semua umat Islam bisa melaksanakannya. Dibutuhkan segala persiapan yang matang mulai fisik, finansial, hingga mental. Persiapan secara fisik sangat dibutuhkan mengingat dalam beberapa rukun haji perlu perjuangan fisik, seperti sa'i, melempar jumrah, dan tawaf. Sedangkan finansial jelas diperlukan.

Dalam Alquran telah digariskan, yang wajib haji adalah orang yang mampu. Sedangkan persiapan mental adalah yang paling penting karena hal ini menyangkut hati. Menyiapkan mental berarti menata hati guna menyambut panggilan Allah.

Di samping itu, haji merupakan ibadah yang mempunyai dampak luas bagi umat manusia. Tidak hanya dari segi fisik maupun rohani, juga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tentu saja haji yang mabrur bisa dilihat dari maslahatnya terhadap kehidupan umat manusia. Haji adalah sebuah ibadah spektakuler, karena di balik semua itu terdapat hikmah yang jauh lebih dahsyat.

''Barang siapa yang mengerjakan haji kemudian ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan, maka ia kembali (bersih) seperti saat dilahirkan oleh ibunya.'' (HR Bukhari Muslim)

Bagaimana sebenarnya menjadi haji mabrur itu? Imam Hasan bin Ali Abi Thalib pernah ditanya, apakah haji mabrur? Jawabnya, ''Jika engkau telah pulang, kamu menjadi orang yang zuhud (tidak terbelenggu dalam cinta dunia), dan bersemangat mencapai kebahagiaan di akhirat.''

Zuhud tidak berarti antimateri, tetapi kesanggupan rohani untuk mengalahkan ambisi pribadi, keserakahan kepemilikan benda, serta kebanggaan semu di dunia. Semoga saja kaum Muslimin yang saat ini sedang menjadi tamu Allah SWT di Tanah Suci, pulang kembali ke Tanah Air dengan hajjun mabrur.

Memanfaatkan Waktu



Oleh : Ichwan Mahmudi

Rasulullah SAW bersabda, ''Ada dua nikmat, di mana banyak manusia tertipu di dalamnya, yakni kesehatan dan kesempatan.'' (HR Bukhori). Hadis di atas menjelaskan pentingnya memanfaatkan kesempatan (waktu), karena tanpa disadari banyak orang terlena dengan waktunya. Imam Al-Ghazali dalam bukunya Khuluqul Muslim menerangkan waktu adalah kehidupan. Karena itu, Islam menjadikan kepiawaian dalam memanfaatkan waktu termasuk di antara indikasi keimanan dan tanda-tanda ketakwaan. orang yang mengetahui dan menyadari akan urgennya waktu berarti memahami pula nilai hidup dan kebahagiaan.

Sebaliknya, orang yang tidak mengenal pentingnya waktu, ia seakan-akan hidup dalam keadaan mati, meski hakikatnya ia bernapas di muka bumi. ''Allah bertanya, berapa tahunkah lamanya engkau tinggal di bumi? Mereka menjawab, kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyalah kepada orang-orang yang menghitung.'' (QS Al-Mu'minun [23]: 112- 113). Ayat di atas menunjukkan orang-orang yang tidak mengetahui pentingnya waktu seakan-akan hanya hidup sehari atau setengah hari, karena mereka tidak memahami arti umur, tidak mampu menguasai dan mengisinya dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat.

Membiarkan waktu terbuang sia-sia dengan anggapan esok masih ada waktu merupakan salah satu tanda tidak memahami urgensi waktu, padahal ia tidak pernah datang untuk kali kedua. Dalam pepatah Arab disebutkan ''Tidak akan kembali hari-hari yang telah lampau.'' Sementara Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam bukunya Al-Fawaid menerangkan, ''Menyia-nyiakan hati disebabkan sikap yang lebih memprioritaskan kehidupan dunia dari akhirat, dan membiarkan waktu terbuang dengan anggapan esok masih ada waktu.''

Salah satu cara memanfaatkan waktu adalah menggunakannya untuk taat dan beribadah kepada Allah. Dalam kitab Fathul Baari diterangkan, ''Barangsiapa menggunakan kesempatan dan kesehatannya untuk taat kepada Allah, dialah orang yang amat berbahagia. Dan barangsiapa menggunakannya dalam bermaksiat kepada-Nya, dialah orang yang tertipu. Karena kesempatan senantiasa diikuti kesibukan dan kesehatan akan diikuti masa sakit.''